Thursday, January 21, 2016

Ayoo Generasi Muda!!! Jangan Takut MEA

Setelah kuliah dengan Ibu Ati Harmoni siang itu, membuat saya sadar tentang MEA untuk kesekian kalinya. Awalnya saya hanya menganggap remeh terhadap MEA, tetapi ternyata setelah Beliau berbicara tentang MEA hal itu membuat saya sadar tentang MEA.

MEA yang sudah dimulai sejak 1 Januari 2016 lalu, sekarang menjadi momok yang mnyeramkan bagi saya sebagai mahasiswa tingkat 2 Fakultas Komputer. Saya merasa entah apakah saya mampu menghadapi kelulusan saya menjadi Sarjana IT dan bersaing dengan para pesaing-pesaing dari berbagai negara? takut dan gelisah memang, bagaimana masa depanku nanti? huufftt mengerikan sekali apabila terus dipikirkan dan dibayangkan.

Sekali lagi Beliau menyadarkan saya, agar menjadi orang yang selalu berpikir POSITIF. Disetiap jam kuliah Beliau selalu ada sesuatu hal yang saya terima, saya dapatkan, hal baru yang membuat pikiran saya semakin terbuka tentang apa yang terjadi pada dunia ini.

Sekali lagi saya berpikir positif tentang MEA. Dalam MEA yang berjalan saat ini bukan hanya sekedar persaingan tentang hardskill tetapi juga softskill. Nah SKILL inilah yang harus kita siapkan dalam menghadapi persaingan dengan pesaing-pesaing kita didunia kerja. Oleh karena itu pupuklah SKILL kita sebaik mungkin, sehebat mungkin agar kita layak dan mampu bersaing secara tangguh dari segi hardskill dan tetap memiliki softskill yang baik.

Saya mencoba searching di jobsdb, pekerjaan apa yang dapat dikerjakan oleh lulusan Sistem Informasi? inilah hasilnya:

  1. Application Spesialist - Network
  2. Application Spesialist - Software/Programming
  3. DBA 
  4. Hardware
  5. IT - Webmaster/SEO
  6. IT Auditing
  7. IT Management
  8. Software Development
  9. Technical/Functional Consulting
  10. Business Analyst
  11. dan sebagainya
itulah sekiranya pekerjaan yang bisa kita dapatkan setelah lulus menjadi Sarjana Komputer (SSI).
Setelah tau pekerjaan apasaja, kita harus menyiapkan mulai dari SEKARANG untuk mempelajari hal-hal apa saja yang kita butuhkan sebagai bekal untuk bersaing. Sehingga rasa TAKUT terhadap MEA tidak ada lagi kita rasakan karena kita SIAP menghadarinya.

KITA BERUBAH, DUNIA JUGA BERUBAH.




Sunday, January 10, 2016

Kebudayaan Minangkabau

KEBUDAYAAN MINANGKABAU




BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang

Indonesia memiliki beraneka ragam jenis budaya. Setiap daerah memiliki adat budaya yang berbeda-beda. Walaupun demikian, Indonesia tetap menjadi sebuah bangsa yang utuh dengan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia juga memiliki selogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda namun tetap satu jua”. Hal ini ditunjukkannya dengan adanya keanekaragaman adat budaya di Indonesia namun Indonesia tetap menjadi satu yaitu NKRI.

Keanekaragaman adat budaya di Indonesia sangat perlu dipelajari untuk lebih mengetahui budaya-budaya tersebut secara menyeluruh agar masyarakat diluar budaya tersebut mengetahui secara luas tentang wawasan budaya Indonesia. Selain itu juga perlu untuk menjaga budaya Indonesia itu tetap lestari dan tidak hilang. Setiap budaya memiliki perbedaan yang unik. Dari segi bahasa, aturan, hukum adat, upacara-upacara, kesenian, dan lain sebagainya. Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam dan tersebar hampir di semua wilayah Indonesia, misalnya Kebudayaan Suku Jawa, Kebudayaan Suku Sunda, Kebudayaan Suku Minang dan masih banyak lagi kebudayaan-kebudayaan di Indonesia.

Oleh karena itu, kami dari kelompok 2 kelas 1KA41 dan 1KA42  Universitas Gunadarma menyusun makalah tentang salah satu kebudayaan di Indonesia yaitu Kebudayaan Suku Minangkabau dengan mengadakan interview langsung kenarasumber pilihan kelompok kami. Penyusunan makalah ini akan memberikan wawasan yang baru tentang Kebudayaan Suku Minang bagi kami yang menyusunnya maupun pembaca makalah ini nanti.


1.2              Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu :
a.       Untuk mengetahui asal-usul Kebudayaan Suku Minang,
b.      Untuk mengetahui sistem keagamaan Suku Minang;
c.       Untuk mengetahui sistem kemasyaratakan Suku Minang;
d.      Untuk mengetahui system Pernikahan Suku Minang; dan
e.       Untuk mengetahui kesenian-kesenian Suku Minang.

1.3              Perumusan dan Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu:
a.       Asal – Usul Suku Miangkabau,
b.      Sistem Keagamaan Suku Minangkabau;
c.       Sistem Kemasyarakatan Suku Minangkabau;
d.      Sistem Pernikahan Suku Minangkabau; dan
e.       Kesenian-kesenia Suku Minangkabau;

Selain itu, Perumusan maslah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimana asal-usul suku minangkabau?
2.      Bagaimana system keagamaan suku minangkabau?
3.      Bagaimana system kemasyarakatan suku minangkabau?
4.      Bagaimana system pernikahan suku minangkabu?
5.      Apa saja kesenian-kesenian suku minangkabau?

1.4              Teknik Pengumpulan Data
1.      Studi Kepustakaan
Kami melakukan penelitian dengan cara mencari sumber-sumber dari berbagai buku baik buku manual maupun buku elektronik.

2.      Interview
Kami melakukan interview langsung dengan seorang narasumber pilihan yang berasal dari Suku Minangkabau.

1.5              Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, perumusan dan pembatasan masalah, teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan berisi tentang asal-usul suku minangkabau, sistem keagamaan suku minangkabu, sistem kemasyarakatan suku minangkabu, upacara adat suku minangkabau, bahasa suku minangkabau dan adat budaya suku minangkabau.
Bab III Penutup berisi kesimpulan dan saran.




BAB II
PEMBAHASAN



2.1  Asal - Usul Suku Minangkabau
Sejarah bermula pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting di Minangkabau. Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau. Adityawarman adalah seoranga Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang sebelumnya didominasi agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.

Melirik sejarah singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa Kerajaan Pagaruyung akan di serang kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa maka terjadilah peristiwa adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut mewakili peperangan kedua kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul kata manang kabau yang selanjutnya di jadikan nama Nagari atau desa tersebut. Upaya penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) dimana atapnya mengikuti bentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan di batas tempat bertemunya pasukan Majapahit yang di jamu dengan hormat oleh wanita cantik Pagaruyung. Situasi masyarakat saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang, bertani sawah, hasil hutan dan mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa pernyataan timbul bahwa alat transportasi yang digunakan untuk menelusuri dataran tinggi Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena agama yang dipercaya pada waktu itu di ajarkan untuk menyayangi binatang gajah, kerbau, dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau sebagai masyarakat dengan adu kerbau.

Bukti arkeolog mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu. Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Berdasarkan historis, budaya Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singing, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kab.Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.

Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat.

2.2  Sistem Kepercayaan atau Religi Suku Minangkabau            
Pada prinsipnya orang Minangkabau menganut agama Islam. jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat", walaupun kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan syari'at-syari'atnya. Disamping meyakini kebenaran ajaran-ajaran Islam, sebagian dari mereka masih percaya adanya hal-hal bersifat takhayul dan magis, misalnya : hantu-hantu jahat, kuntilanak, tenung (menggasing) dsb. Untuk menolak kejahatan makhluk halus itu orang biasanya pergi ke dukun. Dahulu ada upacara selamatan yang bermacam-macam, seperti : tabuik (peringatan Hasan Husein), khitan, katam mengaji, dan upacara dalam rangka lingkaran hidup manusia dari lahir sampai mati. Misalnya : kekah, tedak siten, selamatan kematian pada hari ke-7 sampa dengan hari ke-100.

Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.

Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.

Karena kuatnya pengaruh adat-istiadat, maka dalam praktek kehidupan beragama di dalam masyarakat banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya. Maka timbullah gerakan kaum muda yang baru datang dari Mekah yang membawa pengaruh wahabi untuk membersihkan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an. Seperti yang terdapat pada pepatah Minangkabau “Adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” atau “Adat yang didasari oleh hukum Islam, dan mengacu kepada Kitabullah”.

2.3  Sistem Kemasyarakatan Suku Minangkabau
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.

Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.

Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ibu.Tidak ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri.
1.                  Ciri-ciri Sistem Kekerabatan Matrilineal
Adapun karakteristik dari sistem kekerabatan matrilineal adalah sebagai berikut:

  1. Keturunan dihitung menurut garis ibu.
  2. Suku terbentuk menurut garis ibu. Seorang laki-laki di minangkabau tidak bisa mewariskan sukunya kepada anaknya .Jadi jika tidak ada anak perempuan dalam satu suku maka dapat dikatakan bahwa suku itu telah punah.
  3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami). Menurut aturan adat minangkabau seseorang tidak dapat menikah dengan seseorang yang berasal dari suku yang sama . Apabila hal itu terjadi maka ia dapat dikenakan hukum adat, seperti dikucilkan dalam pergaulan.
  4. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-laki. Yang menjalankan kekuasaan di minangkabau adalah laki-laki ,perempuan di minangkabau di posisikan sebagai pengikat ,pemelihara ,dan penyimpan harta pusaka.
  5. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
  6. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

2.                  Peran dan Kedudukan Wanita di Minangkabau
Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.

3.                  Peran dan Kedudukan Laki-laki di Minangkabau
Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.

Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Adapun peranan laki-laki di minangkabau terbagi atas:

  • Sebagai Kemenakan
Di dalam kumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam kaitan ini, peranan surau menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a.       Kemenakan di bawah daguak
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya
b.      Kemenakan di bawah pusek
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).
c.       Kemenakan di bawah lutuik
Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

  • Sebagai Mamak
Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum.

  • Sebagai Penghulu
Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.

Setiap laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual menggadai atau menjadikan milik sendiri).

4.                  Peranan Laki-laki di Luar Kaum
Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;

  • Sumando ninik mamak
Artinya, semenda yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.Sikap ini yang sangat dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau.

  • Sumando kacang miang
Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.

  • Sumando lapik buruk
Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya.

Dikatakan juga sumando seperti seperti itu sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi .Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya.

2.4     Mata Pencaharian Suku Minangkabau
Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya menangkap ikan. Masyarakat Minangkabau juga banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan tersebut merupakan cenderamata khas dari Minangkabau.    

Seiring dengan perkembangan zaman, banyak masyarakat Minangkabau yang mengadu nasib ke kota-kota besar. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada saat ini.
Orang Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar.

Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya. Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.

Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.

Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.

·         Jumlah perantau
Kota konsentrasi perantau Minang
Kota
Jumlah (2010)
Persentase1
343.121
37,96%
305.538
3,18%
282.971
50,9%
181.403
8,6%
169.887
14,93%
103.025
7,1%
101.729
4,25%
74.071
8,4%
26.249
14,01%
13.606
7,8%
2.073
0,04%
 Persentase dari keseluruhan penduduk kota

Etos merantau orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan sensus tahun 2010, etnis Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.

Sebab merantau:

  1.  Faktor budaya
Ada banyak penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya, dan anak-anak.

Para perantau yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan melanjutkan pendidikan.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk mengubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna) mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.

2.      Faktor ekonomi
Penjelasan lain adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil.

Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seg, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada cerita legenda di India sebelum Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.

2.5     Upacara Adat  Suku Minangkabau

Batagak  Panghulu

Batagak panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum upacara peresmiannya, syarat-syarat berikut harus dipenuhi:
1.      Baniah, yaitu menentukan calon penghulu baru.
2.      Dituah cilakoi, yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam sebuah rapat.
3.      Panyarahan baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.
4.      Manakok ari, yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.

Peresmian pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara    adat. Upacara ini disebut malewakan gala. Hari pertama adalah batagak gadang,    yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek jinih    dan pemuka masyarakat. Panghulu baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu tertua    memasangkan deta dan menyisipkan sebilah keris tanda serah terima jabatan. Akhirnya    panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua adalah hari    perjamuan. Hari berikutnya panghulu baru diarak ke rumah bakonya diringi bunyi-bunyian.

Perkawinan Suku Minangkabau (Baralek)

Pernikahan di Minangkabau melibatkan praktik kebudayaan yang khas dan sesuai dengan adat dan budaya Minangkabau. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.

Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :

  • Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
  • Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
  • Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
  • Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya “sekali” seumur hidup.
Adapun tata cara  adat perkawinan di mingkabau, antara lain :

1.      Maresek
Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tata-cara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau yaitu matrilineal, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.

2.      Maminang/Batimbang Tando (Bertukar Tanda)
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila pinangan diterima, maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara ini melibatkan orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampia (tas yang terbuat dari daun pandan) yang disuguhkan untuk dicicipi keluarga pihak pria. Selain itu juga membawa antaran kue-kue dan buah-buahan. Menyuguhkan sirih di awal pertemuan mengandung makna dan harapan. Bila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan, serta hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Kemudian dilanjutkan dengan acara batimbang tando/batuka tando (bertukar tanda). Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Selanjutnya berembuk soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.

3.      Mahanta Siriah/Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan kepada mamak-mamak-nya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (sekarang digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita, untuk ritual ini mereka akan menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa untuk rencana pernikahannya. Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.

4.      Babako-Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara ini biasanya berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Mereka datang membawa berbagai macam antaran. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), barang-barang yang diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya). Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.

5.      Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain simpai, dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju tokah dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.

6.      Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan kehadiran mereka yang penuh tata krama (beradat), pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue-kue serta buah-buahan.

Untuk daerah pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga calon mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan. Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

7.      Penyambutan Di Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.

Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.

8.      Tradisi Usai Akad Nikah
Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan setelah akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki.

  • Mamulangkan Tando
Setelah resmi sebagai suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan oleh kedua belah pihak.

  •  Malewakan Gala Marapulai
Mengumumkan gelar untuk pengantin pria. Gelar ini sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai pria. Lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.


  • Balantuang Kaniang atau Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai didudukkan saling berhadapan dan wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas, lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling bersentuhan.

  • Mangaruak Nasi Kuniang
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning.

  • Bamain Coki
Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.

 Upacara Sunat Rasul

Sunat Rasul juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi seorang anak.    Upacara biasanya diselenggarakan waktu si anak berumur 8 – 12 tahun,    bertempat di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak. Acara    dimulai dengan pembukaan, lalu si anak disunat, selanjutnya doa.


 Upacara Turun Mandi
Upacara turun mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir    dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat bahwa di kaum tersebut telah lahir    keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di sumber mata air terdekat (sungai) dan dilakukan oleh orang yang membantu melahirkannya (Dukun Bayi).  Selain    itu juga ada perjamuan.

2.6     Bahasa Suku Minangkabau
Bahasa Minangkabau
Baso Minangkabau
باسو مينڠكاباو
Dituturkan di
Sumatera (Indonesia), Negeri Sembilan (Malaysia)
Wilayah
Sumatera Barat, pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian utara Jambi dan Bengkulu, bagian barat Riau
Jumlah penutur
± 6.5 juta  (tidak ada tanggal)
Rumpun Bahasa
Austronesia
·         Melayu-Polinesia
·         Melayu-Sumbawa
·         Utara dan Timur
·         Melayik
·         Melayu
·         Bahasa Minangkabau
Kode-kode bahasa
ISO 639-2
min
ISO 639-3
min

Bahasa Minangkabau (bahasa Minang: baso Minang) adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa Melayu yang dituturkan oleh Orang Minangkabau sebagai bahasa ibu khususnya di provinsi Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai), pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian barat provinsi Riau, bagian utara Jambi  dan Bengkulu, serta Negeri Sembilan Malaysia. Bahasa Minang dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti halnya Bahasa Banjar, Bahasa Betawi, dan Bahasa Iban.

Sempat terdapat pertentangan mengenai hubungan Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu. Sebagian pakar bahasa menganggap Bahasa Minangkabau sebagai salah satu dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tutur di dalamnya. Sementara yang lain justru beranggapan bahwa bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Bahasa Melayu.

Kerancuan ini disebabkan karena Bahasa Melayu dianggap satu bahasa. Kebanyakan pakar kini menganggap Bahasa Melayu bukan satu bahasa, tetapi merupakan satu kelompok bahasa dalam rumpun bahasa Melayik. Dimana Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang ada dalam kelompok Bahasa Melayu tersebut.

Bahasa Minang masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdomisili di Sumatera maupun di perantauan. Namun untuk masyarakat Minangkabau yang lahir di perantauan, sebagian besar mereka telah menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari.

2.7     Adat Budaya Suku Minangkabau

Makanan dan Minuman

Masakan-masakan khas padang terkenal dengan makanan dengan rasa pedas dan bersantan. Biasanya orang-orang suku minang memasak makanan tersebut menggunakan tungku agar mendapartkan rasa yang nikmat. Masakan-masakan khas suku minang tidak hanya terkenal diwilayah suku minang bahkan di seluruh nusantara yang dikenal dengan masakan-masakan di Rumah Padang.  Berikut adalah makanan-makanan khas suku minang.

1.      Randang
Rendang adalah masakan tradisional khas Minang Sumatera Barat. Merupakan masakan favorite hampir setiap orang yang datang ke Rumah Makan padang. Randang terbuat dari daging sapi sebagai bahan utamanya. Bahan-bahan utamanya adalah daging sapi (dagiang sapi), air parutan kelapa (aia karambia), cabai (merah lado merah) dan bumbu-bumbu pemasak lainnya (langkok-langkok tidak menggunakan kunyit agar tekstur daging tidak rusak). Biasanya kelapa yang digunakan dalam jumlah yang banyak (misalnya 4 kelapa untuk 1 kg daging sapi) agar rasa rendangnya lebih manis dan mantap. Bahkan saat ini Rendang menjadi masakan ternikmat di dunia.

Sekarang rendang bukan saja dari daging sapi, tetapi dari daging ayam, telur dan buah nangka muda pun sering dibuat rendang oleh masyarakat Minang Sumatera Barat. Dalam acara adat Minang seperti Pernikahan, Khatam Al Qur'an, Sunatan, dll Rendang adalah masakan yang memperoleh posisi terhormat. Rendang ini masakan Padang yang paling awet, bisa lebih dari dua bulan asalkan dipanas kan secara rutin. Warnanya hitam dan aromanya yang khas.

Adapun filosofi dari masakan rendang ini adalah Musyawarah yang terdiri dari empat hal utama, yaitu:

  •  Daging Sapi (dagiang sapi) lambang dari Ninik Mamak (pemimpin suku adat)
  • Kelapa (karambia) lambang dari Cadiak Pandai (Kaum Intelektual)
  • Cabai (Lado) lambang dari Alim Ulama. Cabai rasanya pedas berarti Alim Ulama yang tegas mengajarkan agama Islam (syarak).
  •  Pemasak (langkok-langkok/bumbu) lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.

2.      Dendeng Balado
Dendeng Balado bahan utamanya adalah daging sapi yang diiris tipis dan dikeringkan. Lalu digoreng dan diberi cabai merah (lado merah). Bahan lainnya adalah bawang merah, bawang putih dan bumbu lainnya. Biasanya ditambahkan dengan cabai merah dimasak dan ditambah air santan yang pekat.

3.      Dendeng Batokok
Dendeng batokok sama dengan dendeng balado, bahan utama adalah daging sapi yang diiris tipis dan digoreng. Tetapi cabainya adalah cabai hijau (lado hijau) yang digiling kasar. Daging setelah digoreng dipukul-pukul pakai cobek, sehingga dagingnya lebih lembut.

4.      Soto Padang
Masakan berkuah kaldu sapi dengan bihun dan daging sapi yang diiris dan dikeringkan. Didalamnya juga terdapat perkedel kentang dan lebih nikmat saat panas dan pedas.

5.      Pangek Padeh (Pangek Pedas)
Masakan Padang bahan utamanya adalah ikan (ada yang pakai daging) ditambah kacang panjang atau buah nangka muda, dan cabai merah giling. Dimasak pakai periuk dari tanah (balango) dan pakai tungku. Dalam periuk dibawahnya dialasi daun pisang, selanjutnya ikan dan bumbu dimasukkan ke dalam periuk belanga.

6.      Cancang
Masakan Padang dengan bahan utama adalah daging dipotong kecil-kecil (kadang ukuran besar). Pakai santan dan cabai merah giling. Rasanya cukup pedas dan aromanya sangat khas. Biasanya daging yang digunakan adalah kambing. Sering
dimasak saat acara pesta adat Minang.

7.      Palai Bada
Masakan khas Minang dengan bahan utama adalah bada (ikan teri kecil) pakai parutan kelapa dan cabai dan bumbu lainnya, serta dibungkus pakai daun pisang dan dibakar di atas bara tempurung kelapa. Masakan ini adalah khas dari Peisisir Sumatera Barat.

8.      Sambalado Tanak
Sambalado dalam bahasa Indonesia adalah sambal. Sambalado tanak atau sambal yang dimasak terlebih dahulu. Kadang ada campuran teri ukuran sedang dan pete yang tidak dibuang kulitnya. Warna sambal yang orange kecoklatan, karena diberi santan dan air nasi.

9.      Sambalado Matah
Sambal yang tidak dimasak. Cabe hijau/merah, tomat, hijau/merah bawang merah dan bawang putih digiling (ulek) dikasih garam dan jeruk nipis.

10.  Teh Talua ( Teh Telor )
Minuman khas Sumatera Barat yang merupakan menu wajib di warung tradisional maupun restoran padang. Minuman ini terdiri dari campuran the, gula dan telur (ayam kampung) dengan sedikit perasan jeruk nipis. The ini berkhasian untuk menambah energi dalam bekerja.

11.  Nasi Kapau
Kapau adalah nama sebuah nagari/desa di Bukittinggi yang terkenal dengan dengan masakan khasnya berupa rendang, dendeng balado dan gulai itiak lado mudo. Khasnya rendang Kapau disajikan bersama kentang bulat kecil. Selain itu ,lauk pauk yang menyertai sajian nasi kapau adalah Gulai Tunjang, Ikan Mas, Ayam Balado dan Gulai Cubadak (nangka muda) plus kol, kacang panjang dan rebung.

12.  Nasi Sek
Yang satu ini hanya ada di kota Pariaman. “Nasi Sek" pertama popular sekitar tahun 80 an, Nasi SEK artinya ”nasi SEratus Kenyang”. Waktu itu, nasi yang lengkap dengan lauk-pauknya itu harganya hanya seratus rupiah. Murah memang. Namun seiring perkembangan zaman dan naiknya harga kebutuhan harga nasi ini memang tak mungkin lagi seratus rupiah. Meski begitu, nama nasi sek masih tetap menjadi istilah sampai sekarang. Namun tetap murah meriah bila dibanding hidangan restoran atau rumah makan pada umumnya. Nasi Sek banyak dijual di sekitar objek wisata Pantai Pariaman. Berbeda dengan hidangan rumah makan pada umumnya, nasi sek sendiri disajikan dengan wadah daun.pisang. Memang itulah salah satu ciri khas dari nasiksek, yang biasanya dilengkapi dengan aneka lauk pauk, mulai dari ikan bakar, ikan gulai, goreng cumi-cumi, serta tidak ketinggalan pula sala lauak yang menjadi ikon makanan tradisional Kota Pariaman.

13.  Ampiah Dading
Ampiang Dadiah, salah satu kuliner tradisional yang merupakan khas Ranah Minang. Bukittinggi merupakan salah satu tempat dimana kita bisa menemukan Ampiang Dadiah. Ampiang sendiri berarti “Emping”, dan Dadiah adalah hasil fermentasi susu kerbau murni. Ampiang dan Dadiah akan dikombinasikan dengan air jahe gula merah dan serutan es diatasnya.

14.  Sate Padang
Inilah salah satu kuliner khas Sumatera Barat yang mudah kita temui di manapun, terutama di kota-kota besar Indonesia. Tidak seperti sate pada umumnya yang menggunakan daging kambing atau ayam, sate padang berbahan utama daging sapi, lidah, atau jeroan (jantung, usus, dan tetelan). Bumbunya juga berbeda dengan sate pada umumnya. Bumbu sate padang adalah bumbu kacang (tekstur dan bentuknya lebih mirip bubur) yang dibumbui dengan cabai yang banyak sehingga mempunyai rasa yang pedas.

* Alat Musik

1.      Saluang
Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau,Sumatera Barat. Alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang, di mana orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.

Dalam golongan alat musik ini adalah suling, namun hanya ada empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Talang juga dipergunakan untuk membuat lemang, yaitu lontong ketan tradisional Minangkabau. Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik nafas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernafasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahkan angok (menyisihkan nafas). Tidak sembarangan orang yang bisa meniup Saluang ini, membutuhkan latihan khusus agar bisa mengeluarkan suara khas Saluang, yang bernuansa kelam, misterius dan ghotic.

Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki gaya tersendiri. Contoh dari gaya itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Gaya Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Gaya yang paling sedih bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.

Sementara itu, Jenis saluang yang dapat dikatakan maut, berasal dari daerah Payakumbuah, bernuansa Magis, sebagai pengantar sihir, diwarnai dendang berlirik magic, dikenal dengan nama Saluang Sirompak, Berasal dari kata dasar rompak, yang berarti paksa. Basirompak adalah upaya memaksa batin seseorang -dengan bantuan kekuatan ghaib- agar menuruti kemauan mereka yang merompak. Ritual ini dilakukan oleh seorang pawang (tukang sirompak ) yang dibantu oleh seorang peniup saluang sirompak dan seorang tukang soga. Pawang bertugas mendendangkan mantra-mantra dan memainkan sebuah gasing (gasiang tangkurak) yang salah satu bagiannya dibuat dari potongan tengkorak manusia.

Kerapnya ritual ini dibawakan dengan media Saluang, sehingga dikenal dengan nama Basirompak, kesenian yang berhubungan dengan kegiatan ritual perdukunan atau magic song. Bila seorang lelaki dihina dan dicacimaki oleh seorang perempuan yang disukai oleh lelaki itu, maka si lelaki minta tolong pada setan dengan bantuan si dukun melalui sirompak. Sehingga, perempuan penghina itu jadi tergila-gila padanya dan sulit melupakan si lelaki tersebut.

Permainan Saluang biasanya dalam acara keramaian seperti keduri perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain. Permainan ini biasanya dilaksanakan setelah salat Isya dan berakhir menjelang subuh. Dalam kesemptan lain para dara-dara cantik Minang yang berisikan pesan, sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan akan dijalani.

2.      Bansi (Suling Minang)
Bansi atau Suling Minang dengan 7 lubang (seperti rekorder), berbentuk pendek, dan dapat memainkan lagu-lagu tradisional maupun modern karena memiliki nada standar (diatonik). Ukuran Bansi adalah sekitar 33,5 – 36 cm dengan garis tengah antara 2,5—3 cm. Bansi juga terbuat dari talang (bambu tipis) atau sariak (sejenis bambu kecil yang tipis). Alat musik ini agak sulit memainkan, selain panjang yang susah terjangkau jari, juga cara meniupnya susah.

3.      Pupuik Batang Padi
Alat musik tradisional ini dibuat dari batang padi. Pada ujung ruas batang dibuat lidah, jika ditiup akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Sedangkan pada ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa.
Sekarang pada menjelang tahun baru ada terompet tahun baru yang mirip dengan alat musik ini, bedanya sekarang memakai plastik dan corong memakai karton, dan diberi warna warni emas.

4.      Sarunai (Klarinet Minang)
Serunai berasal dari kata Shehnai yaitu alat musik di lembah Kashmir India, terdiri dari dua potong bambu yang tidak sama besarnya; sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar; dengan fungsi sebagai penghasil nada. Alat musik ini memiliki empat lubang nada, yang akan menghasilkan bunyi melodius. Alat ini sudah jarang yang menggunakan, di samping juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.

5.      Pupuik Tanduak
Alat musik ini dibuat dari tanduk kerbau (hoorn), dan bagian ujung dipotong datar untuk meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Tidak berfungsi sebagai alat pengiring nyanyi atau tari, jadi sebagai peluit, tanpa lubang, sehingga hanya nada tunggal. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung. Dahulu tanduk dipakai oleh kapal layar besar sebagai tanda atau komando kepada awak kapal, sedangkan orang Arab pakai bedug dan orang Eropa pakai lonceng maupun tanduk, dan dulu kereta api uap pakai lonceng kalau lewat keramaian.

6.      Talempong (Bonang Minang)
Di Jawa disebut Bonang yaitu berbentuk gong kecil yang diletakkan datar, dan terbuat dari kuningan, namun juga ada yang terbuat dari kayu dan batu. membunyikannya dengan pukulan kayu. Biasanya talempong dipakai mengiringi Tari Piring, di mana penari membunyikan piring dengan cicin, dan saling bersautan. Usunan nada adalah dimulai dengan Do dan diakhiri dengan Si. Cara memainkan seperti marimba atau kempul dengan nada ganda (tangan kiri dan kanan).

7.      Rabab (Rebab Minang)
Rabab berasal dari Arab sebagai Rebab, juga terdapat wilayah lain seperti Deli, Sunda, Jawa, dll. Rabab Minang sangat unik, selain digesek juga adanya membran suara di bawah bridge, sehingga mempunyai efek lain (suara serak). Sifat unik ini menyebabkan cara menggesek juga sulit. badan Rabab ini terbuat dari batok kelapa (Cocos nucifera).

8.      Aguang (Gong Minang)
Istilah gong dalam bahasa Minang adalah aguang, bentuknya sama dengan yang ada di daerah lain, seperti di Melayu, Sunda, Jawa, dll. Gong biasanya bersifat pukulan ke satu, ke tiga, atau penutup, sedangkan gong kecil pada pukulan ke dua dan ke empat. Kemudian juga ada variasi sesuai dengan rentaknya.

9.      Gandang (Gendang Minang)
Istilah gendang dalam bahasa Minang adalah gandang (dalam bahasa Karo Batak gondang), bentuknya sama dengan yang ada di daerah lain, seperti di Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dll. Cara memainkan adalah sama juga, yaitu sisi lingkaran kecil di sebelah kiri dan yang lebih besar ada di sebelah kanan. Namun cara memukul antara masing-masing daerah sangat berbeda, yaitu di Minang tergantung dari jenis rentak lagu. Gandang Tasa adalah kesenian tradisional permainan gendang yang populer di Kabupaten Padang Pariaman.

Pakaian

Pakaiaan adat khas Minangkabau Sumatra Barat sangatlah feminim bila dilihat dari sudut busananya. Pakaian Khas Sumatra Barat. Untuk baju, Minangkabau hanya mengenal dua jenis baju, yaitu baju kurung basiba dan baju kurung melayu (kebaya panjang). Baju ke dua ini lazim digunakan di daerah psisir barat, parang dan pariaman. Demikian juga halnya dengan warna, baju adat MinangKabau punya warna-warna pakem yang menjadi ciri khasnya. baju kurung warna merah dan gold sebagai ciri daerah Padang dan warna hitam sebagai ciri daerah Solok.

Baju-baju adat MinangKabau yang biasanya adalah semacam baju kurung yang longgar (tidak ketat), tebal (tidak transparan, tidak menerawang, tidak tembus pandang), sopan, tertutup mulai dari leher sampai ke mata kaki dan dihiasi dengan tutup kepala yang bentuknya beraneka ragam sesuai dengan daerah asal yang lebih spesifik. Oleh karena baju adat minangkabau yang cenderung tertutup, longgar dan tidak transparan ini, maka sangat mudah memadukannya dengan jilbab tanpa menghilangkan unsur budaya aslinya.

Perlengkapan pakaian adat Limpapeh Rumah Nan Gadang dibuat oleh orang Minangkabau sendiri. Ada daerah yang cukup terkenal dengan pandai sulam ini di Minangkabau seperti Padang, Pariaman, Tanjung Sungayang, Batipuh Bunga Tanjung, Koto Gadang, Payakumbuh. Sedangkan Pandai Sikat terkenal dengan tenunan kain upieh (kain balapak). Bukittinggi terkenal sebagai tempat penjual suntiang dalam berbagai bentuk dan ukuran. Umumnya biro tata rias anak daro di seluruh Sumatera Barat, bahkan di luar provinsi itu, termasuk Jakarta membeli suntiang ke toko-toko di Bukittinggi. Tapi, suntiang sendiri sebenarnya dibuat sekelompok perajin di Kampung Pisang, Kecamatan Empat Koto, Kabupaten Agam. Sayang, hal ini tak banyak diketahui orang.

Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang. Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan anting-anting serta kalung.

 Makna Simbolik yang Terkandung dalam Busana Adat Minangkabau


  • Busana Bagian Atas

Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari perlengkapan ini adalah kepemilikan rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya adalah bundo kanduang (pemilik suatu rumah gadang).


  • Busana Bagian Tengah
Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan.

  • Busana Bagian Bawah
Kain sarung (kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”.

  • Perhiasan
Selain pakaian ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris yang digunakan oleh bundo kanduang. Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya terbuat dari bahan emas dan batu alam. Perhiasan seperti seperangkat kaluang dan galang serta cincin memiliki perbedaan yang khusus jika dibandingkan dengan perhiasan wanita pada umumnya, sebab merupakan simbol-simbol yang mengandung norma-norma dan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak hanya berfungsi untuk memperindah penampilan, melainkan juga memiliki makna tertentu yang terkait dengan adat istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat.

* Nilai Luhur yang terkandung dalam Pakaian Adat Minangkabau
Fungsi busana bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin dan teriknya sinar matahari, tetapi juga mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial suatu masyarakat. Dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya. Demikian juga busana yang dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu adalah: kepimpinan, keteguhan dan kebertanggung-jawaban, kebijaksanaan, kehematan, kerja keras, ketauladan, ketaqwaan, pengayoman, dan ketaatan.

  • Nilai kepemimpinan tercermin dalam makna simbolik penutup kepala disebut tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Penutup kepala ini adalah sebagai simbol seorang pemimpin dalam rumah gadang.
  • Nilai keteguhan dan kebertanggung-jawaban tercermin dalam makna simbolik minsai dan balapak. Minsai adalah simbol bahwa seorang bundo kandung dan kaumnya tahu persis tentang adat dan tidak boleh melanggarnya. Sedangkan, balapak adalah simbol penerus keturunan. Artinya, seorang bundo kandung bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
  • Nilai kebijaksanaan tercermin dalam makna simbolik kain sarung (kodek) balapak bersulam emas, yaitu seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan, nilai kehematan tercermin dalam makna simbolik dukuah nasura, yaitu orang hidup mesti dapat menerapkan sikap mental hemat.
  • Nilai kerja keras tercermin dalam makna simbolik dukuah palam, yaitu hidup tidak boleh menyerah (pasrah) tetapi harus berpikir, berbuat dan berjuang untuk memperoleh sesuatu demi kesejahteraan manusia.
  • Nilai ketauladanan tercermin dalam makna simbolik dukuah uang dukat, yaitu bundo kandung merupakan cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
  • Nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik: dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan Kaban gadang, Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau, khususnya yang menganut agama Islam.
  • Nilai pengayoman tercermin dalam makna simbolik galang ula tigo balik, yaitu paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
  • Nilai Ketaatan tercermin dalam makna simbolik galang gadang, yaitu sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. (gufron)

Tarian

1.   Tari Piring
Tari piring merupakan sebuah seni tarian milik orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Ia merupakan salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri Sembilan keturunan Minangkabau. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut.

2.    Tari Rancak Minangkabau
Tari ini menggambarkan keteguhan hati masyarakat Bawean dalam iman Agama Islam yang merupakan agama anutan masyarakat seluruh Bawean. Syair dan geraknya menggambar kecintaan pada Sang Khaliq Allah SWT dan kekasih  hati utama Rasul Nabi Akhiruzzaman Muhammad SAW sang pembawa kebenaran.

3.    Tari Lilin
Tarian Lilin pada asasnya merupakan sebuah tarian yang dipersembahkan oleh sekumpulan penari dengan diiringi sekumpulan pemusik. Para penari ini akan membawa lilin yang dinyalakan pada piring yang dipegang oleh tangan mereka. Penari akan menarikan tarian secara berkelompok dengan memutar piring yang berisi lilin yang menyala secara berhati-hati agar piring tersebut sentiasa mendatar, dan lilin tidak mati. Tarian lilin merupakan sejenis kesenian Istana dan ditarikan pada waktu malam hari. Untuk memainkan tari lilin, seorang  memerlukan latihan yang giat karena pergerakan dengan lilin yang menyala tanpa kemalangan cukup sulit dilakukan.

4.    Tari Payung
Tari Payung merupakan kesenian salah satu tari klasik dari yang berasal dari Daerah Minang. Tari payung menggambarkan kasih sayang seorang kekasih yang dilambangkan dengan melindungi dengan payungnya.Tari payung memang merupakan tari pergaulan muda-mudi sehingga dibawakan secara berpasang-pasangan. Selain menggunakan payung sebagai alat bantu yang dimainkan oleh penari pria, bisa juga ditambah dengan selendang untuk penari wanita.Musiknya cukup variatif, mulai dari agak pelan, lalu agak cepat dan cepat, sangat dinamis. Tari ini biasa dibawakan untuk memeriahkan acara pesta, pameran, dan lain sebagainya.

5.   Tari Pasambahan Minang
Tari Pasambahan merupakan kesenian tari yang berasal dari Minangkabau. Asal usul Tari Pasambahan adalah dimaksudkan sebagai ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu yang datang. Tari Pasambahan biasanya ditampilkan saat menyambut tamu dan saat kedatangan pengantin pria ke rumah pengantin wanita. Setelah Tari Pasambahan kemudian dilanjutkan dengan suguhan Daun Sirih dalam Carano kepada Sang tamu, sedangkan pada acara penyambutan pengantin pria, Daun sirih dalam Carano disuguhkan kepada pengantin pria sebagai wakil rombongan dan juga kepada kedua orangtua pengantin pria.

Olahraga

 Silat

Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijombang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

* Pacuan Kuda

Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba pacu jawi dan pacu itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung masalah olahraga sipak rago ini.

Rumah adat

Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni Rumah Gadang tersebut.

Hanya kaum perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.

Dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kebudayaan Minangkabau atau yang sering disebut Suku Minang adalah adat budaya yang lahir dan berkembang di wilayah penganut kebudayaan Minang.

Semua kebudayaan yang lahir di Indonesia memiliki perjalanan historis lahirnya kebudayaan itu mulai dari asal usul nama budayanya, luas wilayahnya, dan keagamaan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat kebudayaan itu. Demikian pula dengan Kebudayaan Suku Minangkabau yang memiliki perjalanan historis sendiri.

Selain itu, berbagai adat budaya atau kesenian-kesenian dari berbagai macam budaya juga berbeda. Sama halnya dengan adat budaya yang dimiliki oleh Suku Minangkabau belum tentu dimiliki pula oleh budaya dari suku-suku yang lainnya. Seperti dari pakaian adat, rumah adat, makanan minuman, tarian, alat music dan kesenian-kesenian lainnya.

3.2  Saran
Seperti yang telah dibahas di pendahuluan dan pembahasan mengenai kebudayaan Suku Minangkabau. Dari bab pembahasan yang kami lakukan melalui studi kepustakaan dan interview dengan narasumber orang suku minangkabau asli, tentu kebudayaan dari suku minangkabau sangat menarik dan indah. Oleh sebab itu, kita harus menjaga kebudayaan-kebudayaan dari suku Minangkabau dan suku-suku lainnya yang berada di Indonesia.







Daftar Pustaka

 http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Bahasa diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Minangkabau_perantauan diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Kesenian diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Tari_Tradisional diakses pada tanggal 30 Maret 2015
https://dwiluky.wordpress.com/2011/05/07/masyarakat-minangkabau/ diakses pada tanggal 30 Maret 2015
dwiki-kurniawan98.blogspot.com/2013/04/10-macam-tarian-dari-sumatera-barat_9.html diakses tanggal 11 Mei 2015 pukul 04.00 WIB
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/11/sistem-religi-suku minangkabau.html?m=1 Diakses pada tanggal Jumat, 27 Maret 2015 pada pukul 13:15 WIB
https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/ diuakses pada tanggal 27 Maret 2015 pada pukul 13:20 WIB