KEBUDAYAAN MINANGKABAU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia memiliki beraneka ragam jenis budaya. Setiap daerah memiliki
adat budaya yang berbeda-beda. Walaupun demikian, Indonesia tetap menjadi
sebuah bangsa yang utuh dengan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Indonesia juga memiliki selogan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti
“Berbeda-beda namun tetap satu jua”. Hal ini ditunjukkannya dengan adanya
keanekaragaman adat budaya di Indonesia namun Indonesia tetap menjadi satu
yaitu NKRI.
Keanekaragaman adat budaya di Indonesia sangat perlu dipelajari untuk
lebih mengetahui budaya-budaya tersebut secara menyeluruh agar masyarakat
diluar budaya tersebut mengetahui secara luas tentang wawasan budaya Indonesia.
Selain itu juga perlu untuk menjaga budaya Indonesia itu tetap lestari dan
tidak hilang. Setiap budaya memiliki perbedaan yang unik. Dari segi bahasa,
aturan, hukum adat, upacara-upacara, kesenian, dan lain sebagainya. Indonesia
memiliki kebudayaan yang sangat beragam dan tersebar hampir di semua wilayah
Indonesia, misalnya Kebudayaan Suku Jawa, Kebudayaan Suku Sunda, Kebudayaan
Suku Minang dan masih banyak lagi kebudayaan-kebudayaan di Indonesia.
Oleh karena itu, kami dari kelompok 2 kelas 1KA41 dan 1KA42 Universitas Gunadarma menyusun makalah tentang
salah satu kebudayaan di Indonesia yaitu Kebudayaan Suku Minangkabau dengan mengadakan
interview langsung kenarasumber pilihan kelompok kami. Penyusunan makalah ini
akan memberikan wawasan yang baru tentang Kebudayaan Suku Minang bagi kami yang
menyusunnya maupun pembaca makalah ini nanti.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah
ini, yaitu :
a. Untuk mengetahui asal-usul Kebudayaan
Suku Minang,
b. Untuk mengetahui sistem keagamaan Suku
Minang;
c. Untuk mengetahui sistem kemasyaratakan
Suku Minang;
d. Untuk mengetahui system Pernikahan Suku
Minang; dan
e. Untuk mengetahui kesenian-kesenian Suku
Minang.
1.3
Perumusan dan Pembatasan Masalah
Adapun pembatasan masalah yang dibahas
dalam makalah ini, yaitu:
a. Asal – Usul Suku Miangkabau,
b. Sistem Keagamaan Suku Minangkabau;
c. Sistem Kemasyarakatan Suku Minangkabau;
d. Sistem Pernikahan Suku Minangkabau; dan
e. Kesenian-kesenia Suku Minangkabau;
Selain itu, Perumusan maslah yang akan
dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana asal-usul suku minangkabau?
2. Bagaimana system keagamaan suku
minangkabau?
3. Bagaimana system kemasyarakatan suku
minangkabau?
4. Bagaimana system pernikahan suku
minangkabu?
5. Apa saja kesenian-kesenian suku
minangkabau?
1.4
Teknik Pengumpulan Data
Kami melakukan penelitian dengan cara
mencari sumber-sumber dari berbagai buku baik buku manual maupun buku
elektronik.
Kami melakukan interview langsung dengan
seorang narasumber pilihan yang berasal dari Suku Minangkabau.
1.5
Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, perumusan dan pembatasan masalah,
teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
Bab II
Pembahasan berisi tentang asal-usul suku minangkabau, sistem keagamaan suku
minangkabu, sistem kemasyarakatan suku minangkabu, upacara adat suku
minangkabau, bahasa suku minangkabau dan adat budaya suku minangkabau.
Bab III
Penutup berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal - Usul Suku Minangkabau
Sejarah bermula
pada masa kerajaan Adityawarman, yang merupakan tokoh penting di Minangkabau.
Seorang Raja yang tidak ingin disebut sebagai Raja, pernah memerintah di
Pagaruyung, daerah pusat kerajaan Minangkabau. Adityawarman adalah seoranga
Raja yang berjasa memberi sumbangsih bagi alam Minangkabau, selain itu beliau
juga orang pertama yang memperkenalkan sistem kerajaan di Sumatera Barat. Sejak
pemerintahan Raja Adityawarman tepatnya pertengahan abad ke-17, Propinsi ini
lebih terbuka dengan dunia luar khususnya Aceh. Karena hubungan dengan Aceh
yang semakin intensif melalui kegiatan ekonomi masyarakat, akhirnya mulai
berkembang nilai baru yang menjadi landasan sosial budaya masyarakat Sumatera
Barat. Agama Islam sebagai nilai baru tersebut berkembang di kalangan
masyarakat dan berangsur-angsur mendominasi masyarakat Minangkabau yang
sebelumnya didominasi agama Buddha. Selain itu sebagian kawasan di Sumatera
Barat yaitu pesisir pantai barat masih berada di bawah kekuasaan kerajaan
Pagaruyung, namun kemudian menjadi bagian dari kesultanan Aceh.
Melirik sejarah
singkat Minangkabau, merupakan salah satu desa yang berada di kawasan Kecamatan
Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. Desa tersebut awalnya merupakan tanah
lapang. Namun karena adanya isu yang berkembang bahwa Kerajaan Pagaruyung akan
di serang kerajaan Majapahit dari Provinsi Jawa maka terjadilah peristiwa adu
kerbau atas usul kedua belah pihak. Kerbau tersebut mewakili peperangan kedua
kerajaan. Karena kerbau Minang berhasil memenangkan perkelahian maka muncul
kata manang kabau yang selanjutnya di jadikan nama Nagari atau desa tersebut.
Upaya penduduk setempat mengenang peristiwa bersejarah tersebut, penduduk
Pagaruyung mendirikan sebuah rumah loteng (rangkiang) dimana atapnya mengikuti
bentuk tanduk kerbau. Menurut sejarah, rumah tersebut didirikan di batas tempat
bertemunya pasukan Majapahit yang di jamu dengan hormat oleh wanita cantik
Pagaruyung. Situasi masyarakat saat itu umumnya hidup dengan cara berdagang,
bertani sawah, hasil hutan dan mulai berkembang pertambangan emas. Beberapa
pernyataan timbul bahwa alat transportasi yang digunakan untuk menelusuri
dataran tinggi Minangkabau adalah kerbau. Alasan menggunakan kerbau karena
agama yang dipercaya pada waktu itu di ajarkan untuk menyayangi binatang gajah,
kerbau, dan lembu. Karena ajaran tersebut mereka menggunakan kerbau sebagai
masyarakat dengan adu kerbau.
Bukti arkeolog
mengatakan bahwa daerah kawasan Minangkabau yaitu Lima puluh Koto merupakan
daerah yang dihuni pertama kali oleh nenek moyang orang Minang. Di daerah tersebut
mengalir sungai-sungai yang dijadikan sarana transportasi pada zaman dulu.
Nenek moyang orang Sumatera di perkirakan berlayar melalui rute ini dan
sebagian diantaranya menetap dan mengembangkan peradabannya di sekitar Lima
puluh Koto tersebut. Terbukanya provinsi Sumatera Barat terhadap dunia luar
menyebabkan kebudayaan yang semakin berkembang oleh bercampurnya para
pendatang. Jumlah pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah menyebabkan
persebaran penduduk ke berbagai lokasi Sumatera Barat. Sebagian menyebar ke
selatan dan sebagian ke bagian barat Sumatera.
Dari tambo yang diterima
secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara
sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada
sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun kisah
tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga
menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang
keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari
masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari
daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar
2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari
arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke
dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang
Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal
dengan nama luhak, yang selanjutnya
disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan luhak
tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai
oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan
Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang
lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau
bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam
Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan
perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo terbagi
atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak
(kawasan pesisir barat).
Berdasarkan historis, budaya Minangkabau
berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian
menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak
Nan Tigo. Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singing, Rokan Hulu), pesisir barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara Bengkulu (Mukomuko), bagian barat daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Kab.Aceh Tenggara), hingga Negeri Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya bercorakkan
budaya animisme dan Hindu-Budha. Kemudian sejak kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir
abad ke-18, adat dan budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam dihapuskan.
Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik,
mendesak Kaum Adat untuk mengubah
pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme
dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam
pesta-pesta adat masyarakat Minang.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Padri yang berakhir
pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam
antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka
bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan
tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Syarak mangato adat mamakai. (Adat bersendikan kepada syariat,
syariat bersendikan kepada Al-Quran). Sejak
reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan
manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu,
setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga.
Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di
surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu
bela diri pencak silat.
2.2
Sistem Kepercayaan atau Religi Suku Minangkabau
Pada prinsipnya orang Minangkabau menganut agama Islam. jika ada
masyarakatnya keluar dari agama Islam (murtad), secara langsung yang
bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat", walaupun
kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan syari'at-syari'atnya.
Disamping meyakini kebenaran ajaran-ajaran Islam, sebagian dari mereka masih
percaya adanya hal-hal bersifat takhayul dan magis, misalnya : hantu-hantu
jahat, kuntilanak, tenung (menggasing) dsb. Untuk menolak kejahatan makhluk
halus itu orang biasanya pergi ke dukun. Dahulu ada upacara selamatan yang
bermacam-macam, seperti : tabuik (peringatan Hasan Husein), khitan, katam
mengaji, dan upacara dalam rangka lingkaran hidup manusia dari lahir sampai
mati. Misalnya : kekah, tedak siten, selamatan kematian pada hari ke-7 sampa
dengan hari ke-100.
Agama
Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan
dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan
Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur
juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada
kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat
manurun, Syarak mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir,
sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga
dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang
ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi
Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari
beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada
masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian
perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai
abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari tiga raja Minangkabau hanya satu
yang telah memeluk Islam.
Karena kuatnya pengaruh adat-istiadat, maka dalam praktek kehidupan
beragama di dalam masyarakat banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari
ajaran Islam yang sebenarnya. Maka timbullah gerakan kaum muda yang baru datang
dari Mekah yang membawa pengaruh wahabi untuk membersihkan hal-hal yang tidak
sesuai dengan ajaran agama Islam. Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji
Piobang dari Mekkah sekitar tahun
1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau pada
saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa
dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum
akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa adat berasaskan Al-Qur'an. Seperti yang terdapat pada pepatah Minangkabau “Adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah” atau “Adat yang didasari oleh hukum Islam, dan
mengacu kepada Kitabullah”.
2.3
Sistem
Kemasyarakatan Suku Minangkabau
Matrilineal merupakan
salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat
dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta
pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu),
sedangkan ayah mereka disebut
oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan
di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan
peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang
dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau
saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku).
Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh
Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi
oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak
perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi
kekuasaan pada komunitasnya.
Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ibu.Tidak ada
sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya
tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran
terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian
disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya.
Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada
hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu
sendiri.
1.
Ciri-ciri
Sistem Kekerabatan Matrilineal
Adapun karakteristik dari sistem
kekerabatan matrilineal adalah sebagai berikut:
- Keturunan
dihitung menurut garis ibu.
- Suku terbentuk
menurut garis ibu. Seorang laki-laki di minangkabau tidak bisa mewariskan sukunya
kepada anaknya .Jadi jika tidak ada anak perempuan dalam satu suku maka dapat
dikatakan bahwa suku itu telah punah.
- Tiap orang
diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami). Menurut aturan adat minangkabau seseorang tidak dapat menikah
dengan seseorang yang berasal dari suku yang sama . Apabila hal itu terjadi
maka ia dapat dikenakan hukum adat, seperti dikucilkan dalam pergaulan.
- Yang sebenarnya
berkuasa adalah saudara laki-laki. Yang menjalankan kekuasaan di minangkabau adalah laki-laki
,perempuan di minangkabau di posisikan sebagai pengikat ,pemelihara ,dan
penyimpan harta pusaka.
- Perkawinan
bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
- Hak-hak dan
pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan dari saudara laki-laki ibu
kepada anak dari saudara perempuan.
2.
Peran dan Kedudukan
Wanita di Minangkabau
Pada
dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan
perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka
suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.
Dalam
sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan
penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat
penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan
adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak
dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik
mamak.
Perempuan
menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi
bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat
menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta
pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur
dan mempertahankannya.
Perempuan
tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang
memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu
prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka
tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah
menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.
3.
Peran dan
Kedudukan Laki-laki di Minangkabau
Kedudukan
laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang.
Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik
pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik
dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.
Peranan
laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya
dengan seimbang dan sejalan. Adapun peranan laki-laki di minangkabau terbagi
atas:
Di
dalam kumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia
harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui
semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya.
Oleh
karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke
sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya.
Dalam
kaitan ini, peranan surau menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat
mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain
yang berada di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai
pewaris sako dan pusako, anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok:
a.
Kemenakan di
bawah daguak
Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan
pusako dari mamaknya
b.
Kemenakan di
bawah pusek
Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di
bawah daguak tidak ada (punah).
c.
Kemenakan di
bawah lutuik
Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan
sako dan pusako kaum.
Pada
giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung
jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus
dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya
anak-beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur,
walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi,
yaitu penghulu kaum.
Selanjutnya,
dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan
kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan
kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang
berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya.
Setiap
laki-laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah
(maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual menggadai
atau menjadikan milik sendiri).
4.
Peranan
Laki-laki di Luar Kaum
Selain berperan di dalam kaum
sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin
dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di
dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam
kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya.Satu
sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk
perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam kaum
istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam
masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;
Artinya, semenda yang dapat ikut
memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri.
Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin.
Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.Sikap ini yang
sangat dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau.
Artinya, sumando yang membuat kaum
istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam
persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.Sikap seperti ini tidak
boleh dipakai.
Artinya, sumando yang hanya
memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan
lainnya.
Dikatakan juga sumando seperti
seperti itu sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit
semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi .Sumando
tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya.
2.4
Mata Pencaharian Suku Minangkabau
Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar sebagai
petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya menangkap
ikan. Masyarakat Minangkabau juga banyak yang menjadi perajin. Kerajinan yang
dihasilkan adalah kain songket. Hasil kerajinan tersebut merupakan cenderamata
khas dari Minangkabau.
Seiring dengan
perkembangan zaman, banyak masyarakat Minangkabau yang mengadu nasib ke
kota-kota besar. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada saat
ini.
Orang
Minangkabau sangat menonjol dibidang perniagaan, sebagai profesional dan
intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan
Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah
keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan
pada umumnya bermukim di kota-kota besar.
Minangkabau
perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung
halamannya. Bagi laki-laki Minang merantau erat kaitannya dengan pesan nenek
moyang “karatau madang di hulu babuah babungo balun” (anjuran merantau kepada
laki-laki karena di kampung belum berguna). Dalam kaitan ini harus dikembangkan
dan dipahami, apa yang terkandung dan dimaksud “satinggi-tinggi tabangnyo
bangau kembalinya ke kubangan juo”. Ungkapan ini ditujukan agar urang Minang
agar akan selalu ingat pada ranah asalnya. Merantau merupakan proses interaksi
masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah
petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk
mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi
merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia
dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau
biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau
biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang
ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau
merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan.
Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat,
namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian
yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung
halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan
memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput
sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan
untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang
sawah.
Kota
konsentrasi perantau Minang
|
Kota
|
Jumlah
(2010)
|
Persentase1
|
|
343.121
|
37,96%
|
|
305.538
|
3,18%
|
|
282.971
|
50,9%
|
|
181.403
|
8,6%
|
|
169.887
|
14,93%
|
|
103.025
|
7,1%
|
|
101.729
|
4,25%
|
|
74.071
|
8,4%
|
|
26.249
|
14,01%
|
|
13.606
|
7,8%
|
|
2.073
|
0,04%
|
Persentase dari keseluruhan
penduduk kota
|
Etos merantau
orang Minangkabau sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia.
Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim, pada tahun
1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat.
Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44%. Berdasarkan
sensus tahun 2010, etnis Minang
yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 4,2 juta jiwa, dengan perkiraan hampir
separuh orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi orang Minangkabau
dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun
1978, dimana lebih 80% perantau yang tinggal di kawasan rantau telah
meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda.
Ada banyak
penjelasan terhadap fenomena ini, salah satu penyebabnya ialah sistem
kekerabatan matrilineal. Dengan sistem ini, penguasaan harta pusaka dipegang
oleh kaum perempuan sedangkan hak kaum pria dalam hal ini cukup kecil. Selain
itu, setelah masa akil baligh para pemuda tidak lagi dapat tidur di rumah orang
tuanya, karena rumah hanya diperuntukkan untuk kaum perempuan beserta suaminya,
dan anak-anak.
Para perantau
yang pulang ke kampung halaman, biasanya akan menceritakan pengalaman merantau
kepada anak-anak kampung. Daya tarik kehidupan para perantau inilah yang sangat
berpengaruh di kalangan masyarakat Minangkabau sedari kecil. Siapa pun yang
tidak pernah mencoba pergi merantau, maka ia akan selalu diperolok-olok oleh
teman-temannya. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk
merantau. Kini wanita Minangkabau pun sudah lazim merantau. Tidak hanya karena
alasan ikut suami, tapi juga karena ingin berdagang, meniti karier dan
melanjutkan pendidikan.
Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi
budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka,
kosmopolitan, egaliter, dan berpandangan luas, hal ini menyebabkan tertanamnya
budaya merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk mengubah nasib
dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau
madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno
balun (lebih baik pergi merantau karena di kampung belum berguna)
mengakibatkan pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda.
Penjelasan lain
adalah pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya
alam yang dapat diolah. Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama
tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam
yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk
memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.
Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan
dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang
pergi merantau mengadu nasib di negeri orang. Untuk kedatangan pertamanya ke
tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap
sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai
pedagang kecil.
Selain itu,
perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh
kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. Kawasan
pedalaman Minangkabau, secara geologis memiliki
cadangan bahan baku terutama emas, tembaga, timah, seg, merkuri, dan besi, semua bahan tersebut telah mampu diolah oleh
mereka. Sehingga julukan suvarnadvipa (pulau emas) yang muncul pada
cerita legenda di India sebelum
Masehi, kemungkinan dirujuk untuk pulau Sumatera karena hal ini.
2.5
Upacara
Adat Suku Minangkabau
Batagak
panghulu adalah upacara pengangkatan panghulu. Sebelum upacara peresmiannya,
syarat-syarat berikut harus dipenuhi:
1.
Baniah, yaitu
menentukan calon penghulu baru.
2.
Dituah cilakoi,
yaitu diperbincangkan baik buruknya calon dalam sebuah rapat.
3.
Panyarahan
baniah, yaitu penyerahan calon penghulu baru.
4.
Manakok ari,
yaitu perencanaan kapan acara peresmiannya akan dilangsungkan.
Peresmian
pengangkatan panghulu dilaksanakan dengan upacara adat. Upacara ini disebut malewakan gala.
Hari pertama adalah batagak gadang,
yakni upacara peresmian di rumah gadang yang dihadiri urang nan ampek
jinih dan pemuka masyarakat. Panghulu
baru menyampaikan pidato. Lalu panghulu tertua memasangkan deta dan menyisipkan sebilah
keris tanda serah terima jabatan. Akhirnya
panghulu baru diambil sumpahnya, dan ditutup dengan doa. Hari kedua
adalah hari perjamuan. Hari berikutnya
panghulu baru diarak ke rumah bakonya diringi bunyi-bunyian.
Perkawinan Suku
Minangkabau (Baralek)
Pernikahan di
Minangkabau melibatkan praktik kebudayaan yang khas dan sesuai dengan adat dan
budaya Minangkabau. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau
membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam
mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya
dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan
dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi
pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam
dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat
dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
Hukuman yang
dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat
dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan
Agama maupun Pengadilan Negara. Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk
pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam
perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang
lazim di Minangkabau. Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya
Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
- Kedua calon
mempelai harus beragama Islam.
- Kedua calon
mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan
itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
- Kedua calon
mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua
belah pihak.
- Calon suami
(marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin
kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang
dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau
perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Selain dari itu
masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus
dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando,
akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya. Tatakrama dan
upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang
menganggap bahwa “Perkawinan itu sesuatu yang agung”, yang kini diyakini hanya
“sekali” seumur hidup.
Adapun tata cara adat perkawinan di mingkabau, antara lain :
Maresek merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari
rangkaian tata-cara pelaksanaan pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di
Minangkabau yaitu matrilineal, pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga
pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang membawa buah tangan berupa kue atau
buah-buahan. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk
mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat untuk menikah dan cocok dengan
si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai
sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.
2.
Maminang/Batimbang
Tando (Bertukar Tanda)
Keluarga
calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang.
Bila pinangan diterima, maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda sebagai
simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara ini
melibatkan orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak.
Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih pinang lengkap
disusun dalam carano atau kampia (tas yang terbuat dari daun pandan) yang
disuguhkan untuk dicicipi keluarga pihak pria. Selain itu juga membawa antaran
kue-kue dan buah-buahan. Menyuguhkan sirih di awal pertemuan mengandung makna
dan harapan. Bila ada kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan,
serta hal-hal yang manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya.
Kemudian dilanjutkan dengan acara batimbang tando/batuka tando (bertukar
tanda). Benda-benda yang dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti
keris, kain adat, atau benda lain yang bernilai sejarah bagi keluarga.
Selanjutnya berembuk soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
3.
Mahanta Siriah/Minta Izin
Calon
mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan kepada
mamak-mamak-nya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga
dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai
wanita, diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara
mengantar sirih. Calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan
tembakau (sekarang digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon
mempelai wanita, untuk ritual ini mereka akan menyertakan sirih lengkap. Ritual
ini ditujukan untuk memberitahukan dan mohon doa untuk rencana pernikahannya.
Biasanya keluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul
beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita (disebut bako) ingin
memperlihatkan kasih sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan.
Acara ini biasanya berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah. Mereka
datang membawa berbagai macam antaran. Perlengkapan yang disertakan biasanya
berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan
adat), barang-barang yang diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana,
perhiasan emas, lauk-pauk baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah,
kue-kue dan sebagainya). Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk
dibawa ke rumah keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan
harinya, calon mempelai wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga
pihak ayah dengan membawa berbagai macam barang bantuan tadi.
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun
inai ke kuku-kuku calon pengantin wanita. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum
akad nikah. Tradisi ini sebagai ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para
sesepuh keluarga mempelai wanita. Perlengkapan lain yang digunakan antara lain
air yang berisi keharuman tujuh macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning,
kain jajakan kuning, kain simpai, dan kursi untuk calon mempelai. Calon
mempelai wanita dengan baju tokah dan bersunting rendah dibawa keluar dari
kamar diapit kawan sebayanya. Acara mandi-mandi secara simbolik dengan
memercikkan air harum tujuh jenis kembang oleh para sesepuh dan kedua orang
tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai wanita diberi inai.
Ini
adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan
menurut adat Minangkabau. Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah
calon pengantin wanita untuk melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga
dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah
dewasa. Lazimnya pihak keluarga calon pengantin wanita harus membawa sirih
lengkap dalam cerana yang menandakan kehadiran mereka yang penuh tata krama
(beradat), pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam,
lauk-pauk, kue-kue serta buah-buahan.
Untuk
daerah pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang
serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga calon
mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan.
Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan,
barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju kediaman
calon mempelai wanita.
7.
Penyambutan Di
Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon
mempelai wanita lazimnya merupakan momen meriah dan besar. Diiringi bunyi musik
tradisional khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan
Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat,
serta disambut para dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih. Sirih dalam
carano adat lengkap, payung kuning keemasan, beras kuning, kain jajakan putih
merupakan perlengkapan yang biasanya digunakan.
Keluarga
mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari Gelombang
Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara menyambut rombongan dengan persembahan
sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon pengantin pria dengan beras
kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki air
sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju ke tempat
berlangsungnya akad.
8.
Tradisi Usai
Akad Nikah
Ada
lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan setelah akad nikah. Yaitu
memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi
kuning dan bermain coki.
Setelah resmi sebagai suami istri,
maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran dikembalikan
oleh kedua belah pihak.
Mengumumkan gelar untuk pengantin
pria. Gelar ini sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai
pria. Lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.
- Balantuang
Kaniang atau Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh para
sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai
didudukkan saling berhadapan dan wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas,
lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling
bersentuhan.
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan
kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi.
Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang
tersembunyi di dalam nasi kuning.
Coki adalah permaian tradisional
Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang,
papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai
bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta
kemesraan.
Sunat Rasul
juga merupakan syariat Islam, tanda pendewasaan bagi seorang anak. Upacara biasanya diselenggarakan waktu si
anak berumur 8 – 12 tahun, bertempat
di rumah ibu si anak atau rumah keluarga terdekat ibu si anak. Acara dimulai dengan pembukaan, lalu si anak
disunat, selanjutnya doa.
Upacara turun
mandi dimaksudkan untuk menghormati keturunan yang baru lahir dan berbagi kebahagiaan dengan masyarakat
bahwa di kaum tersebut telah lahir
keturunan baru. Upacara ini dilaksanakan di sumber mata air terdekat
(sungai) dan dilakukan oleh orang yang membantu melahirkannya (Dukun Bayi). Selain
itu juga ada perjamuan.
2.6
Bahasa Suku
Minangkabau
Bahasa
Minangkabau
|
Baso
Minangkabau
باسو Ù…ÙŠÙ†Ú ÙƒØ§Ø¨Ø§Ùˆ
|
Dituturkan
di
|
Sumatera (Indonesia), Negeri Sembilan (Malaysia)
|
Wilayah
|
Sumatera Barat, pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian utara Jambi dan Bengkulu, bagian barat Riau
|
Jumlah
penutur
|
±
6.5 juta (tidak
ada tanggal)
|
Rumpun Bahasa
|
Austronesia
·
Melayu-Polinesia
·
Melayu-Sumbawa
·
Utara dan Timur
·
Melayik
·
Melayu
·
Bahasa Minangkabau
|
Kode-kode
bahasa
|
ISO 639-2
|
min
|
ISO 639-3
|
min
|
Bahasa
Minangkabau (bahasa Minang: baso Minang) adalah salah
satu bahasa dari rumpun bahasa Melayu yang dituturkan oleh Orang Minangkabau sebagai bahasa ibu khususnya di provinsi Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai), pantai barat Aceh dan Sumatera Utara, bagian barat provinsi Riau, bagian utara Jambi dan Bengkulu, serta Negeri Sembilan Malaysia. Bahasa Minang dihipotesiskan sebagai bahasa Melayik, seperti
halnya Bahasa Banjar, Bahasa Betawi, dan Bahasa Iban.
Sempat terdapat
pertentangan mengenai hubungan Bahasa Minangkabau dengan Bahasa Melayu. Sebagian pakar bahasa menganggap Bahasa Minangkabau sebagai salah
satu dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tutur di dalamnya. Sementara yang lain justru beranggapan
bahwa bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Bahasa Melayu.
Kerancuan ini disebabkan
karena Bahasa Melayu dianggap satu bahasa. Kebanyakan pakar kini menganggap
Bahasa Melayu bukan satu bahasa, tetapi merupakan satu kelompok bahasa
dalam rumpun bahasa Melayik. Dimana Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang ada dalam
kelompok Bahasa Melayu tersebut.
Bahasa Minang masih
digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdomisili di Sumatera maupun di perantauan. Namun untuk
masyarakat Minangkabau yang lahir di perantauan, sebagian besar mereka telah
menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Melayu dalam percakapan sehari-hari.
2.7
Adat Budaya
Suku Minangkabau
Masakan-masakan
khas padang terkenal dengan makanan dengan rasa pedas dan bersantan. Biasanya
orang-orang suku minang memasak makanan tersebut menggunakan tungku agar
mendapartkan rasa yang nikmat. Masakan-masakan khas suku minang tidak hanya
terkenal diwilayah suku minang bahkan di seluruh nusantara yang dikenal dengan
masakan-masakan di Rumah Padang. Berikut
adalah makanan-makanan khas suku minang.
Rendang adalah
masakan tradisional khas Minang Sumatera Barat. Merupakan masakan favorite
hampir setiap orang yang datang ke Rumah Makan padang. Randang terbuat dari
daging sapi sebagai bahan utamanya. Bahan-bahan utamanya adalah daging sapi
(dagiang sapi), air parutan kelapa (aia karambia), cabai (merah lado merah) dan
bumbu-bumbu pemasak lainnya (langkok-langkok tidak menggunakan kunyit agar
tekstur daging tidak rusak). Biasanya kelapa yang digunakan dalam jumlah yang
banyak (misalnya 4 kelapa untuk 1 kg daging sapi) agar rasa rendangnya lebih
manis dan mantap. Bahkan saat ini Rendang menjadi masakan ternikmat di dunia.
Sekarang
rendang bukan saja dari daging sapi, tetapi dari daging ayam, telur dan buah
nangka muda pun sering dibuat rendang oleh masyarakat Minang Sumatera Barat. Dalam
acara adat Minang seperti Pernikahan, Khatam Al Qur'an, Sunatan, dll Rendang
adalah masakan yang memperoleh posisi terhormat. Rendang ini masakan Padang
yang paling awet, bisa lebih dari dua bulan asalkan dipanas kan secara rutin.
Warnanya hitam dan aromanya yang khas.
Adapun filosofi
dari masakan rendang ini adalah Musyawarah yang terdiri dari empat hal utama,
yaitu:
- Daging Sapi
(dagiang sapi) lambang dari Ninik Mamak (pemimpin suku adat)
- Kelapa
(karambia) lambang dari Cadiak Pandai (Kaum Intelektual)
- Cabai (Lado)
lambang dari Alim Ulama. Cabai rasanya pedas berarti Alim Ulama yang tegas
mengajarkan agama Islam (syarak).
- Pemasak (langkok-langkok/bumbu)
lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dendeng Balado
bahan utamanya adalah daging sapi yang diiris tipis dan dikeringkan. Lalu
digoreng dan diberi cabai merah (lado merah). Bahan lainnya adalah bawang merah,
bawang putih dan bumbu lainnya. Biasanya ditambahkan dengan cabai merah dimasak
dan ditambah air santan yang pekat.
Dendeng batokok sama dengan dendeng balado, bahan utama adalah
daging sapi yang diiris tipis dan digoreng. Tetapi cabainya adalah cabai hijau
(lado hijau) yang digiling kasar. Daging setelah digoreng dipukul-pukul pakai
cobek, sehingga dagingnya lebih lembut.
Masakan berkuah kaldu sapi dengan bihun dan daging sapi yang diiris
dan dikeringkan. Didalamnya juga terdapat perkedel kentang dan lebih nikmat
saat panas dan pedas.
5.
Pangek Padeh (Pangek Pedas)
Masakan Padang bahan utamanya adalah ikan (ada yang pakai daging)
ditambah kacang panjang atau buah nangka muda, dan cabai merah giling. Dimasak
pakai periuk dari tanah (balango) dan pakai tungku. Dalam periuk dibawahnya
dialasi daun pisang, selanjutnya ikan dan bumbu dimasukkan ke dalam periuk
belanga.
Masakan Padang dengan bahan utama adalah daging dipotong
kecil-kecil (kadang ukuran besar). Pakai santan dan cabai merah giling. Rasanya
cukup pedas dan aromanya sangat khas. Biasanya daging yang digunakan adalah
kambing. Sering
dimasak saat acara pesta
adat Minang.
Masakan khas Minang dengan bahan utama adalah bada (ikan teri kecil)
pakai parutan kelapa dan cabai dan bumbu lainnya, serta dibungkus pakai daun
pisang dan dibakar di atas bara tempurung kelapa. Masakan ini adalah khas dari
Peisisir Sumatera Barat.
Sambalado dalam bahasa Indonesia adalah sambal. Sambalado tanak
atau sambal yang dimasak terlebih dahulu. Kadang ada campuran teri ukuran
sedang dan pete yang tidak dibuang kulitnya. Warna sambal yang orange
kecoklatan, karena diberi santan dan air nasi.
Sambal yang
tidak dimasak. Cabe hijau/merah, tomat, hijau/merah bawang merah dan bawang
putih digiling (ulek) dikasih garam dan jeruk nipis.
10.
Teh Talua ( Teh Telor )
Minuman khas
Sumatera Barat yang merupakan menu wajib di warung tradisional maupun restoran
padang. Minuman ini terdiri dari campuran the, gula dan telur (ayam kampung)
dengan sedikit perasan jeruk nipis. The ini berkhasian untuk menambah energi
dalam bekerja.
Kapau adalah
nama sebuah nagari/desa di Bukittinggi yang terkenal dengan dengan masakan
khasnya berupa rendang, dendeng balado dan gulai itiak lado
mudo. Khasnya rendang Kapau disajikan bersama kentang bulat kecil. Selain
itu ,lauk pauk yang menyertai sajian nasi kapau adalah Gulai Tunjang, Ikan
Mas, Ayam Balado dan Gulai Cubadak (nangka muda) plus kol,
kacang panjang dan rebung.
Yang satu ini
hanya ada di kota Pariaman. “Nasi Sek" pertama popular sekitar tahun 80
an, Nasi SEK artinya ”nasi SEratus Kenyang”. Waktu itu, nasi yang lengkap
dengan lauk-pauknya itu harganya hanya seratus rupiah. Murah memang. Namun
seiring perkembangan zaman dan naiknya harga kebutuhan harga nasi ini memang
tak mungkin lagi seratus rupiah. Meski begitu, nama nasi sek masih tetap
menjadi istilah sampai sekarang. Namun tetap murah meriah bila dibanding
hidangan restoran atau rumah makan pada umumnya. Nasi Sek banyak dijual di
sekitar objek wisata Pantai Pariaman. Berbeda dengan hidangan rumah makan pada
umumnya, nasi sek sendiri disajikan dengan wadah daun.pisang. Memang itulah
salah satu ciri khas dari nasiksek, yang biasanya dilengkapi dengan aneka lauk
pauk, mulai dari ikan bakar, ikan gulai, goreng cumi-cumi, serta tidak
ketinggalan pula sala lauak yang menjadi ikon makanan tradisional Kota
Pariaman.
Ampiang Dadiah,
salah satu kuliner tradisional yang merupakan khas Ranah Minang. Bukittinggi
merupakan salah satu tempat dimana kita bisa menemukan Ampiang Dadiah. Ampiang
sendiri berarti “Emping”, dan Dadiah adalah hasil fermentasi susu kerbau murni.
Ampiang dan Dadiah akan dikombinasikan dengan air jahe gula merah dan serutan
es diatasnya.
Inilah salah satu kuliner khas Sumatera Barat yang mudah kita temui
di manapun, terutama di kota-kota besar Indonesia. Tidak seperti sate pada
umumnya yang menggunakan daging kambing atau ayam, sate padang berbahan utama
daging sapi, lidah, atau jeroan (jantung, usus, dan tetelan). Bumbunya juga
berbeda dengan sate pada umumnya. Bumbu sate padang adalah bumbu kacang
(tekstur dan bentuknya lebih mirip bubur) yang dibumbui dengan cabai yang
banyak sehingga mempunyai rasa yang pedas.
Saluang adalah alat
musik tradisional khas Minangkabau,Sumatera Barat. Alat musik tiup ini terbuat
dari bambu tipis atau talang, di mana orang Minangkabau percaya bahwa bahan
yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran
kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai.
Dalam golongan alat musik ini adalah suling,
namun hanya ada empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan
diameter 3-4 cm. Talang juga dipergunakan untuk membuat lemang, yaitu
lontong ketan tradisional Minangkabau. Keutamaan para pemain saluang ini adalah
dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik nafas bersamaan, sehingga
peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa
putus. Cara pernafasan ini dikembangkan dengan latihan yang terus menerus.
Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahkan angok (menyisihkan
nafas). Tidak sembarangan orang yang bisa meniup Saluang ini, membutuhkan
latihan khusus agar bisa mengeluarkan suara khas Saluang, yang bernuansa kelam,
misterius dan ghotic.
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara
meniup saluang, sehingga masing-masing nagari memiliki gaya tersendiri. Contoh
dari gaya itu adalah Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan
Pauah. Gaya Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya
nada Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Gaya yang paling sedih bunyinya
adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Sementara itu, Jenis saluang yang dapat
dikatakan maut, berasal dari daerah Payakumbuah, bernuansa Magis, sebagai
pengantar sihir, diwarnai dendang berlirik magic, dikenal dengan nama Saluang
Sirompak, Berasal dari kata dasar rompak, yang berarti paksa. Basirompak adalah
upaya memaksa batin seseorang -dengan bantuan kekuatan ghaib- agar menuruti
kemauan mereka yang merompak. Ritual ini dilakukan oleh seorang pawang (tukang
sirompak ) yang dibantu oleh seorang peniup saluang sirompak dan seorang tukang
soga. Pawang bertugas mendendangkan mantra-mantra dan memainkan sebuah gasing
(gasiang tangkurak) yang salah satu bagiannya dibuat dari potongan tengkorak
manusia.
Kerapnya ritual ini dibawakan dengan media
Saluang, sehingga dikenal dengan nama Basirompak, kesenian yang berhubungan
dengan kegiatan ritual perdukunan atau magic song. Bila seorang lelaki dihina
dan dicacimaki oleh seorang perempuan yang disukai oleh lelaki itu, maka si
lelaki minta tolong pada setan dengan bantuan si dukun melalui sirompak.
Sehingga, perempuan penghina itu jadi tergila-gila padanya dan sulit melupakan
si lelaki tersebut.
Permainan Saluang biasanya dalam acara
keramaian seperti keduri perkawinan, batagak rumah, batagak pangulu, dan lain-lain.
Permainan ini biasanya dilaksanakan setelah salat Isya dan berakhir menjelang
subuh. Dalam kesemptan lain para dara-dara cantik Minang yang berisikan pesan,
sindiran, dan juga kritikan halus yang mengembalikan ingatan si pendengar
terhadap kampung halaman ataupun terhadap kehidupan yang sudah, sedang, dan
akan dijalani.
Bansi atau
Suling Minang dengan 7 lubang (seperti rekorder), berbentuk pendek, dan dapat
memainkan lagu-lagu tradisional maupun modern karena memiliki nada standar
(diatonik). Ukuran Bansi adalah sekitar 33,5 – 36 cm dengan garis tengah antara
2,5—3 cm. Bansi juga terbuat dari talang (bambu tipis) atau sariak (sejenis
bambu kecil yang tipis). Alat musik ini agak sulit memainkan, selain panjang
yang susah terjangkau jari, juga cara meniupnya susah.
Alat musik
tradisional ini dibuat dari batang padi. Pada ujung ruas batang dibuat lidah,
jika ditiup akan menghasilkan celah, sehingga menimbulkan bunyi. Sedangkan pada
ujungnya dililit dengan daun kelapa yang menyerupai terompet. Bunyinya
melengking dan nada dihasilkan melalui permainan jari pada lilitan daun kelapa.
Sekarang pada
menjelang tahun baru ada terompet tahun baru yang mirip dengan alat musik ini,
bedanya sekarang memakai plastik dan corong memakai karton, dan diberi warna
warni emas.
4.
Sarunai (Klarinet Minang)
Serunai berasal dari
kata Shehnai yaitu alat musik di lembah Kashmir India, terdiri dari dua potong bambu yang tidak sama
besarnya; sepotong yang kecil dapat masuk ke potongan yang lebih besar; dengan
fungsi sebagai penghasil nada. Alat musik ini memiliki empat lubang nada, yang
akan menghasilkan bunyi melodius. Alat ini sudah jarang yang menggunakan, di
samping juga sulit membuatnya, nada yang dihasilkan juga tidak banyak terpakai.
Alat musik ini
dibuat dari tanduk kerbau (hoorn), dan bagian ujung dipotong datar untuk
meniup. Bentuknya mengkilat dan hitam bersih. Tidak berfungsi sebagai alat
pengiring nyanyi atau tari, jadi sebagai peluit, tanpa lubang, sehingga hanya
nada tunggal. Dahulu digunakan untuk aba-aba pada masyarakat misalnya
pemberitahuan saat subuh dan magrib atau ada pengumuman dari pemuka kampung.
Dahulu tanduk dipakai oleh kapal layar besar sebagai tanda atau komando kepada
awak kapal, sedangkan orang Arab pakai bedug dan orang Eropa pakai lonceng
maupun tanduk, dan dulu kereta api uap pakai lonceng kalau lewat keramaian.
6.
Talempong (Bonang Minang)
Di Jawa disebut Bonang yaitu
berbentuk gong kecil yang diletakkan datar, dan terbuat dari kuningan, namun
juga ada yang terbuat dari kayu dan batu. membunyikannya dengan pukulan kayu.
Biasanya talempong dipakai mengiringi Tari Piring, di mana
penari membunyikan piring dengan cicin, dan saling bersautan. Usunan nada
adalah dimulai dengan Do dan diakhiri dengan Si. Cara memainkan seperti marimba
atau kempul dengan nada ganda (tangan kiri dan kanan).
Rabab berasal
dari Arab sebagai Rebab, juga terdapat
wilayah lain seperti Deli, Sunda, Jawa, dll. Rabab Minang sangat unik, selain
digesek juga adanya membran suara di bawah bridge, sehingga mempunyai efek lain
(suara serak). Sifat unik ini menyebabkan cara menggesek juga sulit. badan
Rabab ini terbuat dari batok kelapa (Cocos nucifera).
Istilah gong
dalam bahasa Minang adalah aguang, bentuknya sama dengan yang ada di
daerah lain, seperti di Melayu, Sunda, Jawa, dll. Gong biasanya bersifat pukulan
ke satu, ke tiga, atau penutup, sedangkan gong kecil pada pukulan ke dua dan ke
empat. Kemudian juga ada variasi sesuai dengan rentaknya.
9.
Gandang (Gendang Minang)
Istilah gendang
dalam bahasa Minang adalah gandang (dalam bahasa Karo Batak gondang),
bentuknya sama dengan yang ada di daerah lain, seperti di Melayu, Batak, Sunda,
Jawa, dll. Cara memainkan adalah sama juga, yaitu sisi lingkaran kecil di
sebelah kiri dan yang lebih besar ada di sebelah kanan. Namun cara memukul
antara masing-masing daerah sangat berbeda, yaitu di Minang tergantung dari
jenis rentak lagu. Gandang Tasa adalah kesenian tradisional permainan gendang
yang populer di Kabupaten Padang Pariaman.
Pakaiaan adat
khas Minangkabau Sumatra Barat sangatlah feminim bila dilihat dari sudut
busananya. Pakaian Khas Sumatra Barat. Untuk baju, Minangkabau hanya mengenal
dua jenis baju, yaitu baju kurung basiba dan baju kurung melayu (kebaya
panjang). Baju ke dua ini lazim digunakan di daerah psisir barat, parang dan
pariaman. Demikian juga halnya dengan warna, baju adat MinangKabau punya
warna-warna pakem yang menjadi ciri khasnya. baju kurung warna merah dan gold
sebagai ciri daerah Padang dan warna hitam sebagai ciri daerah Solok.
Baju-baju adat
MinangKabau yang biasanya adalah semacam baju kurung yang longgar (tidak
ketat), tebal (tidak transparan, tidak menerawang, tidak tembus pandang),
sopan, tertutup mulai dari leher sampai ke mata kaki dan dihiasi dengan tutup
kepala yang bentuknya beraneka ragam sesuai dengan daerah asal yang lebih
spesifik. Oleh karena baju adat minangkabau yang cenderung tertutup, longgar
dan tidak transparan ini, maka sangat mudah memadukannya dengan jilbab tanpa
menghilangkan unsur budaya aslinya.
Perlengkapan
pakaian adat Limpapeh Rumah Nan Gadang dibuat oleh orang Minangkabau sendiri.
Ada daerah yang cukup terkenal dengan pandai sulam ini di Minangkabau seperti
Padang, Pariaman, Tanjung Sungayang, Batipuh Bunga Tanjung, Koto Gadang,
Payakumbuh. Sedangkan Pandai Sikat terkenal dengan tenunan kain upieh (kain
balapak). Bukittinggi terkenal sebagai tempat penjual suntiang dalam berbagai
bentuk dan ukuran. Umumnya biro tata rias anak daro di seluruh Sumatera Barat,
bahkan di luar provinsi itu, termasuk Jakarta membeli suntiang ke toko-toko di
Bukittinggi. Tapi, suntiang sendiri sebenarnya dibuat sekelompok perajin di
Kampung Pisang, Kecamatan Empat Koto, Kabupaten Agam. Sayang, hal ini tak
banyak diketahui orang.
Seorang bundo kandung mengenakan tengkuluk
tanduk atau tengkuluk ikek sebagai penutup kepala. Bahannya berasal dari kain
balapak tenunan Pandai Sikat Padang Panjang . Bentuknya seperti tanduk kerbau
dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian
tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah
gadang. Seorang wanita yang telah diangkat menjadi bundo kanduang (bunda
kandung) memegang peranan penting dalam kaumnya. Tidak semua wanita dapat
menjadi bundo kandungan. Ia haruslah orang yang arif bijaksana, kata-katanya
didengar, pergi tempat bertanya dan pulang tempat berita. Ia juga merupakan
peti ambon puruak , artinya tempat atau pemegang harta pusaka kaumnya. Oleh
karena itu memiliki pakaian adat yang berbeda dengan wanita lainnya. Seperti
juga pada pakaian penghulu, masing-masing daerah adat di Minangkabau memiliki
variasinya masing-masing. Tetapi umumnya kelengkapan pakaian bundo kanduang
terdiri dari tengkuluk, baju kurung, kain selempang, kain sarung, dan berhiaskan
anting-anting serta kalung.
* Makna Simbolik
yang Terkandung dalam Busana Adat Minangkabau
Tengkuluk
tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain
balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas
atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari perlengkapan ini adalah kepemilikan
rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya adalah bundo kanduang (pemilik
suatu rumah gadang).
Baju kurung
dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas
dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang
bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh
melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk
kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab
melanjutkan keturunan.
Kain sarung
(kodek) balapak bersulam emas bermakna simbolik kebijaksanaan. Artinya, seorang
bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya, sebagaimana yang
diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi)
hilang-hilang”.
Selain pakaian
ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris yang digunakan oleh bundo kanduang.
Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari
sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari
bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya terbuat dari bahan
emas dan batu alam. Perhiasan seperti seperangkat kaluang dan galang serta
cincin memiliki perbedaan yang khusus jika dibandingkan dengan perhiasan wanita
pada umumnya, sebab merupakan simbol-simbol yang mengandung norma-norma dan
nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi, dapat dikatakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak
hanya berfungsi untuk memperindah penampilan, melainkan juga memiliki makna
tertentu yang terkait dengan adat istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang
tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo
kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat.
* Nilai Luhur yang terkandung dalam Pakaian Adat
Minangkabau
Fungsi busana
bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin
dan teriknya sinar matahari, tetapi juga mempunyai fungsi lain dalam struktur
sosial suatu masyarakat. Dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat
diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya. Pada
masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku
adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga orang
mengetahui secara persis status sosial si pemakainya. Demikian juga busana yang
dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Busana yang
dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di
baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilai-nilai yang pada gilirannya
dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu adalah:
kepimpinan, keteguhan dan kebertanggung-jawaban, kebijaksanaan, kehematan,
kerja keras, ketauladan, ketaqwaan, pengayoman, dan ketaatan.
- Nilai kepemimpinan tercermin dalam makna
simbolik penutup kepala disebut tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek. Penutup
kepala ini adalah sebagai simbol seorang pemimpin dalam rumah gadang.
- Nilai keteguhan dan kebertanggung-jawaban
tercermin dalam makna simbolik minsai dan balapak. Minsai adalah simbol bahwa
seorang bundo kandung dan kaumnya tahu persis tentang adat dan tidak boleh
melanggarnya. Sedangkan, balapak adalah simbol penerus keturunan. Artinya,
seorang bundo kandung bertanggung jawab melanjutkan keturunan.
- Nilai kebijaksanaan tercermin dalam makna
simbolik kain sarung (kodek) balapak bersulam emas, yaitu seorang bundo
kanduang harus dapat menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sedangkan, nilai
kehematan tercermin dalam makna simbolik dukuah nasura, yaitu orang hidup mesti
dapat menerapkan sikap mental hemat.
- Nilai kerja keras tercermin dalam makna
simbolik dukuah palam, yaitu hidup tidak boleh menyerah (pasrah) tetapi harus
berpikir, berbuat dan berjuang untuk memperoleh sesuatu demi kesejahteraan
manusia.
- Nilai ketauladanan tercermin dalam makna
simbolik dukuah uang dukat, yaitu bundo kandung merupakan cermin seorang
perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani
kehidupan.
- Nilai ketaqwaan tercermin dalam makna simbolik:
dukuah rago-rago, dukuah pinyaram, kaban ketek, kaban manangah dan Kaban
gadang, Rukun Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap orang Minangkabau,
khususnya yang menganut agama Islam.
- Nilai pengayoman tercermin dalam makna simbolik
galang ula tigo balik, yaitu paga diri yang berguna untuk melindungi seluruh
anak kemenakan (kaum) bundo kanduang. Artinya, seorang bundo kanduang
diharapkan dapat melindungi nagarinya dari kerusakan atau kekacauan.
- Nilai Ketaatan tercermin dalam makna simbolik
galang gadang, yaitu sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau
tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan
disetujui oleh mamak atau panghulu. (gufron)
Tarian
Tari piring merupakan sebuah seni
tarian milik orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Ia merupakan
salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri
Sembilan keturunan Minangkabau. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai
gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai dan sebagainya.
Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman
mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang
piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh
talempong dan saluang. Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara
atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut.
2. Tari Rancak
Minangkabau
Tari ini menggambarkan keteguhan hati masyarakat Bawean dalam
iman Agama Islam yang merupakan agama anutan masyarakat seluruh Bawean. Syair
dan geraknya menggambar kecintaan pada Sang Khaliq Allah SWT dan kekasih
hati utama Rasul Nabi Akhiruzzaman Muhammad SAW sang pembawa kebenaran.
Tarian Lilin pada asasnya merupakan
sebuah tarian yang dipersembahkan oleh sekumpulan penari dengan diiringi
sekumpulan pemusik. Para penari ini akan membawa lilin yang dinyalakan
pada piring yang dipegang oleh tangan mereka. Penari akan menarikan tarian
secara berkelompok dengan memutar piring yang berisi lilin yang menyala secara berhati-hati
agar piring tersebut sentiasa mendatar, dan lilin tidak mati. Tarian lilin
merupakan sejenis kesenian Istana dan ditarikan pada waktu malam hari. Untuk
memainkan tari lilin, seorang memerlukan latihan yang giat karena
pergerakan dengan lilin yang menyala tanpa kemalangan cukup sulit dilakukan.
Tari Payung merupakan kesenian salah satu tari klasik dari yang
berasal dari Daerah Minang. Tari payung menggambarkan kasih sayang seorang
kekasih yang dilambangkan dengan melindungi dengan payungnya.Tari payung memang
merupakan tari pergaulan muda-mudi sehingga dibawakan secara
berpasang-pasangan. Selain menggunakan payung sebagai alat bantu yang dimainkan
oleh penari pria, bisa juga ditambah dengan selendang untuk penari
wanita.Musiknya cukup variatif, mulai dari agak pelan, lalu agak cepat dan
cepat, sangat dinamis. Tari ini biasa dibawakan untuk memeriahkan acara pesta,
pameran, dan lain sebagainya.
5. Tari Pasambahan Minang
Tari Pasambahan merupakan kesenian tari yang berasal dari
Minangkabau. Asal usul Tari Pasambahan adalah dimaksudkan
sebagai ucapan selamat datang dan ungkapan rasa hormat kepada tamu yang datang.
Tari Pasambahan biasanya ditampilkan saat menyambut tamu dan saat kedatangan
pengantin pria ke rumah pengantin wanita. Setelah Tari Pasambahan kemudian
dilanjutkan dengan suguhan Daun Sirih dalam Carano kepada Sang tamu, sedangkan
pada acara penyambutan pengantin pria, Daun sirih dalam Carano disuguhkan
kepada pengantin pria sebagai wakil rombongan dan juga kepada kedua orangtua
pengantin pria.
Olahraga
* Silat
Silek atau Silat Minangkabau merupakan
suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak
lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga
telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga
ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek
yang disebut dengan randai. Randai biasa
diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijombang, dalam randai
ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang
telah lama ada di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan
oleh masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada
kawasan yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional
lainnya yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang
antara lain lomba pacu jawi dan pacu
itik. sipak rago,atau nama lainnya sepak takraw adalah olah raga masyarakat
tradisional minang yang dimainkan sedikitnya lima atau empat orang, bolanya
terbuat dari anyaman rotan, bola ditendang dari setinggi pinggang sampai
setinggi kepala oleh sekelompok orang yang berdiri melingkar, dalam hikayat dan
novel serta beberapa film seperti film sengsara membawa nikmat ada menyinggung
masalah olahraga sipak rago ini.
Rumah adat
Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas
sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini
dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan
belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah
panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa
disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti
dengan atap seng. Di halaman
depan Rumah Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga
yang menghuni Rumah Gadang tersebut.
Hanya kaum
perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang menjadi penghuni Rumah
Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah
istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek
Rumah Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi
sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Dalam budaya
Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang. Hanya
pada kawasan yang telah berstatus nagari saja rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh
karenanya di beberapa daerah rantau Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri
Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat
bergonjong.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kebudayaan Minangkabau
atau yang sering disebut Suku Minang adalah adat budaya yang lahir dan
berkembang di wilayah penganut kebudayaan Minang.
Semua
kebudayaan yang lahir di Indonesia memiliki perjalanan historis lahirnya
kebudayaan itu mulai dari asal usul nama budayanya, luas wilayahnya, dan
keagamaan atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat kebudayaan itu. Demikian
pula dengan Kebudayaan Suku Minangkabau yang memiliki perjalanan historis
sendiri.
Selain itu,
berbagai adat budaya atau kesenian-kesenian dari berbagai macam budaya juga
berbeda. Sama halnya dengan adat budaya yang dimiliki oleh Suku Minangkabau
belum tentu dimiliki pula oleh budaya dari suku-suku yang lainnya. Seperti dari
pakaian adat, rumah adat, makanan minuman, tarian, alat music dan kesenian-kesenian
lainnya.
3.2
Saran
Seperti yang
telah dibahas di pendahuluan dan pembahasan mengenai kebudayaan Suku
Minangkabau. Dari bab pembahasan yang kami lakukan melalui studi kepustakaan
dan interview dengan narasumber orang suku minangkabau asli, tentu kebudayaan
dari suku minangkabau sangat menarik dan indah. Oleh sebab itu, kita harus
menjaga kebudayaan-kebudayaan dari suku Minangkabau dan suku-suku lainnya yang
berada di Indonesia.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Bahasa
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Minangkabau_perantauan
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Kesenian
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minangkabau#Tari_Tradisional
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
https://dwiluky.wordpress.com/2011/05/07/masyarakat-minangkabau/
diakses pada tanggal 30 Maret 2015
dwiki-kurniawan98.blogspot.com/2013/04/10-macam-tarian-dari-sumatera-barat_9.html
diakses tanggal 11 Mei 2015 pukul 04.00 WIB
http://sejarahnasionaldandunia.blogspot.com/2013/11/sistem-religi-suku minangkabau.html?m=1 Diakses pada tanggal Jumat, 27 Maret 2015 pada pukul 13:15 WIB
https://bachremifananda.wordpress.com/2013/10/15/adat-perkawinan-minangkabau/ diuakses pada tanggal 27 Maret 2015 pada pukul 13:20 WIB