Tujuan Hidup
بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ
Rasanya semua orang sepakat dengan tujuan
hidup yaitu mencari dan menggapai kebahagiaan.
Semua manusia ingin hidupnya bahagia, dan
semua tahu bahwa untuk mencapai kebahagiaan itu perlu pengorbanan. Hanya saja,
manusia banyak salah mencari jalan kebahagiaan, banyak yang memilih sebuah
jalan hidup yang Ia sangka di sana ada pantai kebahagiaan, padahal itu adalah
jurang kebinasaan, itu hanya sebatas fatamorgana kebahagiaan, bukan kebahagiaan
yang hakiki. Celakanya lagi, semakin dilalui jalan fatamorgana tersebut semakin
jauh pula Ia dari jalan kebahagiaán hakiki, kecuali Ia surut kembali ke pangkal
jalan.
Banyak orang menyangka kebahagiaan ada pada
harta, karenanya ia berupaya mencari sumber sumbernya dengan berletih dan
berpeluh. Setelah Ia peroleh harta tersebut, hatinya tetap gundah dan perasaan
masih gelisah!! Ada saja yang membuat hati itu gelisah, kadang-kadang munculnya
dari anak-anaknya, kadang-kadang dari istrinya atau tidak jarang juga datang
dari usaha itu sendiri.
Banyak pula yang nenyangka bahwa pangkat dan
kekuasaan adalah kebahagiaan.
Ketika dilihat mereka yang berkuasa dan
bertahta, secara lahir mereka begitu tampak bahagia hidupnya!
Pergi dijemput pulang diantar, ketika ia
berkehendak tinggal memesan, perintahnya tidak ada yang menghalangi!! Akan
tetapi setelah diselidiki lebih mendalam, kita masuk menembus dinding
istananya, akan terdengar keluh kesahnya, dalam harta yang banyak itu terdapat
jiwa yang rapuh.
Jadi apa kebahagiaan yang sebenarnya ?
Apa kebahagiaan sejati yang seharusnya dicari
oleh manusia ?
Siapa yang sebenarnya orang yang berbahagia?
Apa sarana untuk mencapainya?
Manusia diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla,
bukan mereka yang menciptakan diri mereka, tentu yang paling tahu tentang
seluk-beluk manusia termasuk tentang sebab bahagia atau sebab sengsara adalah
Dia Allah subhanahu wa ta‘ala bukan manusia. Sama halnya dengan sebuah produk,
sekiranya hendak mengetahui hakikat produk tersebut tentu ditanyakan kepada
pembuatnya, bukan kepada produk itu sendiri.
Allah Azza Wa Jalla .berfirman;
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak
mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha
Mengetahui”. (QS. al-Mulk:14)
Ketika Al-Qur’an ditadabburi dan syariat Islam
dikaji, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah
dengan mengaplikasikan penghambaan diri kepada Allah Azza Wa Jalla. Orang yang
bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi hamba Allah Azza Wa Jalla.
Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan olehNya dalam
meniti jalan penghambaan diri kepada Allah.
Karena penghambaan diri inilah sebab
diciptakannya manusia dan jin..karena ubudiah kepada Allah ditegakkannya langit
dan dibentangkannya bumi... karena penghambaan inilah diturunkannya kitab dan
diutusnya rasul...
Allah Azza Wa Jalla .berfirman;
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”.
(QS.Az-Zariat: 56)
Orang yang berpaling dari penghambaan diri ini
dialah orang yang sengsara,
Allah Azza Wa Jalla .berfirman;
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS. Thaha:124)
“Untuk Kami beri cobaan kepada mereka dan
barang-siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan
dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat”. (QS. Al-Jin:17)
Allah Subhanahu wa ta’ala telah menentukan
taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selainNya.
Allah Azza Wa Jalla tentukan kebaikan dan
keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kaya dan miskin, laki-laki dan
perempuan. Manusia tidak bisa melawannya, sekiranya Allah telah menentukan
kemiskinan pada seseorang, maka tidak ada yang dapat mengkayakannya, ketika
Allah telah menentukan kepadanya kesengsaraan, maka tidak ada satupun yang
dapat membahagiakannya.
Kalaulah begitu, kemana manusia hendak lari?!
Kemana manusia hendak berteduh dan bernaung dari taqdir yang
Ia tidak memiliki daya dan upaya untuk
merubahnya kecuali atas izinNya?! Kemana manusia hendak bersandar dari sesuatu
urusan yang tidak di tangannya?! Manusia yang berakal tentu akan bernaung
kepada Zat yang telah mentaqdirkan segala sesuatu, dalam naungan-Nya Ia akan
merasakan ketenangan, dalam menyandarkan diri kepadaNya, akan ia peroleh
kebahagiaan, dalam ke-pasrahan diri kepadaNya akan sirna segala kecemasan dan
kesedihan.
Bagaimana ia tidak bahagia, bukankah Jejak
jejak kasih sayang Allah begitu tampak dalam taqdir kehidupannya?! Bagaimana ía
tidak tenang, bukankah semua taqdir yang ía suka atau yang ía benci, merupakan
sarana untuk menggapai ridho dan cintaNya?
Dari mana kesedihan masuk ke dalam dirinya
atau rasa takut menyelimutinya, karena sebelumnya ia telah diajarkan tentang
cara menghadapinya, bersabar ketika sengsara dan beryukur ketika bahagia,
sehingga sengsaranya tidak membawa kepada keputusasaan dan senangnya tidak
membawanya kepada kesombongan dan kecongkakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiah rohimahullah ta’
ala menguñgkapkan hakikat tersebut yang berlaku pada dirinya, beliau berkata,
“Apa yang dapat dilakukan oleh musuh-musuhku ?! Surga ada di dadaku, kemanapun
dan dimanapun aku, Ia tetap bersamaku!! Sekiranya mereka memenjarakanku, maka
penjara bagiku adalah kholwat. Sekiranya mereka mengusirku, usiran itu bagiku
menjadi tamasya. Sekiranya mereka membunuhku, terbunuhnya diriku adalah syahid
di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala”.
Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam sebagai manusia yang paling sempurna ubudiahnya kepada Allah, ketika
Allah telah mentaqdirkan sesuatu yang berat dalam dakwah beliau, yaitu dua
orang yang selama ini sebagai pembela dan penopang dakwah beliau, Khadijah
Radliallahu anha istri beliau dan Abu Thalib paman beliau, telah meninggal
dunia. Membuat kaum Quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada beliau dan
memberi ultimatum untuk menghentikan dakwah beliau, bahkan telah berani pula
mengusir beliau dari Mekkah.
Berangkatlah beliau ke Thaif, berharap
pembelaan dan bantuan. Kiranya bukan pembelaan yang beliau dapat dan bukan
bantuan yang beliau peroleh, tapi malah cacian dan cemoohan, bahkan usiran oleh
anak-anak dan wanita-wanita di sana, sedangkan beliau seorang utusan Allah Azza
wa Jalla, Allah yang memiliki langit dan bumi.
Mereka telah melukai melempar beliau dengan
batu hingga luka kaki beliau, sebagaimana sebelumnya mereka telah melukal hati
dan perasaannya. Belum sampai di situ malaikat gunung Akhsyabain meminta izin
kepadanya untuk menimpakan gunung tersebut kepada mereka, sebagai tanda bahwa
beliau bukan sendirian.
Bertambah sedih beliau, karena yang beliau
inginkan bukanlah balas dendam atau kepuasan diri, yang beliau inginkan hanya
menampakkan bukti penghambaan diri kepadaNya, hal itu nampak betul dari doa
beliau panjatkan kepadaNya,
“Ya Allah Azza wa Jalla kepadaMulah daku
keluhkan lemahnya kekuatanku, sedikitnya hilafku, hinanya diriku di mata
manusia. Wahai Zat yang paling Pemurah ! Engkaulah Rabb orang-orang yang lemah,
dan Engkaulah Rabbku! Kepada siapa Engkau hendak titipkan diriku?! Apakah
kepada orang yang jauh yang tidak peduli dengan diriku atau engkau hendak
serahkan perkara diriku kepada musuh?! Meskipun begitu, selagi Engkau tidak
murka kepadaku, aku tidakpeduli!! Akan tetapi pengampunanMu lebih luas bagiku,
aku berlindung dengan cahaya wajahMu -yang telah menerangi semua kegelapan,
dengannya berjalan perkara dunia dan akhirat- dan turunnya murkaMu kepadaku
atau jatuh kepadaku kebencianMu, hanya kepadaMu pengaduanku sampai Engkau
ridho, dan tidak ada daya dan upaya kecuali denganMu “.
Al-Quran menyebutkan bahwa orang berbahagia
adalah orang yang menjalankan perintah Allah azza wa Jalla, Allah berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya.
Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari
(perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan
zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sholatnya“.
(QS. Al-Mukminun:1 -9)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ,
“Alif laam miin. Kitab (Al Quran) inii tidak
ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah
yang tercipta mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung”.
(QS. AI-Baqarah:1 -5)
Sebaliknya Allah Azza wa Jalla menyebutkan
bahwa orang yang melanggar perintahNya atau merekalah orang yang merugi,
Allah Azza wa Jalla berfirman, :
“Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi
saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.Dan
orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka
itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al-An kabut: 52)
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian
Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Mereka itulah orang-orang yang rugi”. (QS. Al-Baqarah :27)
Subhanaka Allahuma wa bihmdika asyhadu ala
ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaik. . .
# Hasil Copas tapi lupa darimana copasnya hhe ^_^